Kamis, 10 September 2009

Kuasa dalam kelamin; tindakan Domestic Violance

Gerakan untuk perempuan mulai muncul di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Tahun 1785 lahirlah sebuah perkumpulan ilmiah pertama untuk perempuan. Sedang kata feminisme baru dipopulerkan pada tahun 1837 oleh Charles Fourier. Namun feminisme baru berkembang pesat setelah John Stuart Mill mempublikasikannya. Maka ini menandai lahirnya feminisme gelombang pertama tahun 1869. Pasca perang dunia II munculah feminisme gelombang kedua, tepatnya pada tahun 1960. Secara umum feminisme gelombang pertama dan kedua memperjuangkan beberapa hal yaitu gender inequality, hak-hak perempuan, hak reproduksi, hak berpolitik, peran gender, identitas gender dan seksualitas.
Kali ini akan dibahas mengenai hal azasi perempuan khususnya dalam lingkungan rumah tangga. Seringkali perempuan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). “Kekerasan yang terjadi dalam masyarakat, sesungguhnya berangkat dari satu keyakinan tertentu yang mengesahkan penindasan disatu pihak baik perseorangan maupun kelompok terhadap pihak lain yang disebabkan oleh anggapan ketidaksetaraan yang ada dalam masyarkat.” (Ridwan, 2006 : 1). Sedangkan, KDRT (domestic violance) adalah bentuk penganiayaan (abuse) oleh suami tergadap istri atau sebaliknya baik secara fisik (patah tulang, memar, kulit tersayat)maupun secara emosional/psikologis (rasa cemas, deprasi dan perasaan rendah diri). Kekerasan dalam rumah tangga dapat berupa kekerasan fisik maupun kekerasan psikologis (Ridwan, 2006 : 1). Dalam undang-undang No.23 tahun 2004 tentang pengahapusan kekerasan dalam rumah tangga.
No Jenis kekerasan Pidana kurungan Denda
1 Kekerasan fisik Penjara paling lama 5 tahun Denda paling banyak 15 juta.
2 Kekerasan yang mengakibatkan korban jatuh sakit atau luka berat Penjara paling lama 10 tahun Denda paling banyak 30 juta
3 Kekerasan fisik yang mengakibatkan matinya korban Penjara paling lama 15 bulan Denda paling banyak 45 juta rupiah
4 Kekerasan fisik yang dilakukan oleh seorang suami terhadap istrinya atau sebaliknya yang mengakibatkan penyakit taua halangan melakukan pekerjaan, jabatan atau mata pencaharian sehari-hari. Penjara paling lama 4 bulan Denda paling banyak 5 juta rupiah
5 kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga Penjara paling lama 3 tahun Denda paling banyak 9 juta rupiah
6 Kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya ataupun sebaliknya yang menagkibatkan penyakit atau halangan melakukan pekerjaan, jabatan atau mata pencahariaan sehari-hari. Penajara paling lama 4 bulan Denda paling banyak 3 juta rupiah
7 Kekerasan seksual terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga Penjara paling lama 12 tahun Denda paling banyak 36 juta rupiah
8 Pemaksaan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangga dengan orang lain dan/atau tujuan tertentu. Penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 15 tahun. Denda paling sedikit 12 juta dan dan paling banyak 300 juta
9 Pemaksaan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangga dengan orang lain dan/atau tujuan tertentu, yang mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan untuk sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya piker atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 minggu terus menerus atau satu tahun tidak berturut-turut.
Matinya janin dalam kandungan atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi. Penjara paling singkat 5 tahun dan penjara paling lama 20 tahun Denda paling sedikit 25 juta dan paling banyak 500 juta rupiah
10 Menelantarkan ornag lain dalam lingkup rumah tangga (melalaikan kewajiban untuk memberuikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan, atau penelantaran yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi, melarang bekerja secara layak di dalam atau di luar rumah) Penjara paling lama 3 tahun Denda paling banyak 15 juta rupiah
Tindakan KDRT jelas ditentang oleh feminis liberal, karena tindakan ini melanggar HAM dan merupakan suatu bentuk ‘penghianatan’ akan kesetaraan gender. Dalam kacamata feminis ini, perempuan dan laki-laki adalah setara, jadi tak ada alasan untuk melanggengkan kekuasaan berdasarkan perbedaan gender. Memperlakukan seseorang sebagai sekedar alat adalah sama dengan memperlakukan orang tersebut sebagai bukan manusia, sebagai seseorang yang ada bukan dirinya (liyan), melainkan sebagai alat untuk kekuasaan. Oleh karena itu, misalnya, jika seorang suami memperlakukan istrinya tidak lebih sebagai sekedar tumbuhan diruangan yang indah, ia memperlakukan objek yang dirawatnya sebagai sekedar alat untuk kesenangannya sendiri. Sama halnya jika seorang perempuan membiarkan dirinya diperlakukan dengan cara yang tidak sesuai dengan statusnya sebagai manusia yang tidak utuh. Alih-alih mengambil tanggung jawab bagi perkembangan dirinya untuk tumbuh menjadi pohon redwood yang besar, ia melepaskan kebebasanya dan membiarkan orang lain membentuk dirinya menjadi pohon bonsai. Tidak seorang pun, tegas Wolltonecraft, yang seharusnya membiarkan kekerasan seperti itu dilakukan terhadapnya.(Rosemarie Putnam Tong, 2004:22)
Referensi :
Kelompok kerja convention watch. (2007). Hak Azasi Perempuan; Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender. Jakarta: Universitas Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia.
Ridwan, (2006). Kekerasan berbasis Gender. Purwokerto: Pusat Studi Gender.
Pramadita, Intan. (2007). Perempuan Indonesia, Keberagaman, dan “Kekerasan Budaya”. Jurnal Perempuan untuk Pencerahan dan Kesetaraan. Jakarta : Jurnal Perempuan.19, (54). 19-31.
Tong, Rosemarie Putnam.(2004).Feminist Thought.Yogyakarta : Jalasutra.
By : Nur Tri Kartini dan Nanan Maryanah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar