Senin, 05 April 2010

Perawan Kedua

“Hati-hati ya dijalan,,” ucapku pada adikku dan suaminya. Didepan pintu gerbang rumah aku masih menatap kedua sosok itu sampai keduanya menghilang dari pandangan mata. Aku menatap jemari mereka yang saling berpegangan, sesekali kulihat mereka saling menatap lalu tertawa, ya…mereka bahagia dengan pernikahannya, dan aku juga bahagia dengan kesendirianku. Tapi benarkah aku benar-benar bahagia????
Usiaku genap 22 tahun pada bulan Febuari lalu, sedangkan diusia 21 tahun adikku sudah menjadi seorang istri. Meskipun aku kakaknya tapi skenario Alloh lebih mempercayakan sebuah pernikahan pada adikku dulu dari pada kepadaku. Takdir ini tak menjadi masalah bagiku, malah menjadi suatu kebahagiaan yang aku rasakan juga, tapi itu yang kurasakan dulu, sekarang terkadang ada perasaan lain yang mengusik hatiku perempuanku….
Ketika sebulan sebelum pernikahan adikku seketika hidupku menjadi berubah, seakan ada kekuatan baru yang mendorongku lebih bersemangat untuk hidup. Saat itu akulah menjadi peran utama yang membuat pernikahannya terjadi, meskipun berawal dari ketidaksengajaanku menyuruh calon suaminya untuk menyegerakan pernikahan, karena itulah yang dianjurkan agama agar meraih cinta Alloh selain menjaga kesucian diri dan hati.
***

Waktu sebulan bukanlah waktu yang panjang untuk menyiapkan suatu pernikahan, dimulai dari 2 minggu menjalani proses ta’aruf, kemudian pada minggu ketiganya langsung lamaran, barulah ditentukan bahwa pernikahan akan berlangsung 2 minggu kedepan. Tapi Alhamdulillah semua berjalan dengan sangat mudah.
Menyaksikan dan terlibat langsung dalam proses agung itu seakan memberikanku banyak hikmah, bahwa cinta sejati itu memberi dan memberi, tanpa mengharapkan penerimaan, jika kita mendapatkan balasan itu tidak lain dari apa yang telah kita beri.
Tidak masalah ketika aku menjadi kakak yang terlangkahi oleh adikknya dalam urusan pernikahan, karena memang tak ada alasan untuk aku marah atau tidak menerima keadaan ini, inilah yang terbaik dan sebenarnya sebagai seorang feminis, aku telah menang dan mampu mendobrak budaya masyarakat yang terbilang sangat tabu untuk dilakukan, bahwa seorang adik tidak pantas menikah sebelum kakaknya dulu yang menikah.
Seiring waktu ternyata aku adalah seorang perempuan biasa, ketegaran dan keikhlasanku teruji ketika seminggu detik-detik pernikahan adikku berlangsung. Bermula dari pertanyaan sebagian tetangga, teman dan sebagian keluarga tentang rencana pernikahan adikku, hingga pada akhirnya mereka semua mengakhiri perbincangan dengan “ Kapan Neng menyusul? Masa kakaknya kalah sama adik!” aku hanya tersenyum sumringah, tak bisa menjawab apa-apa, “ Neng ridho dirunghal? Neng teu sakit hati? Atau ada perasaan minder?”, saat pertanyaan itu yang keluar ternyata membuat hatiku menjadi terkikis.
Ridho? Sakit hati? Minder? Apakah aku normal ketika aku sebagai pihak ‘korban’ di mata masyarakat merasa tidak mengalami hal tersebut? Mengapa mereka malah tega mengusik perasaanku yang baik-baik saja? Sehingga kata-kata itu malah berbalik mengusik hatiku! Apakah mereka tak bisa berpura-pura untuk ‘biasa-biasa’ saja menghadapi fenomena ini? Apakah mereka tidak mengerti perasaanku yang bisa saja terusik dan berubah terbalik dengan singgungan-singgungan tersebut? Apakah hina ketika aku mampu membuktikan keikhlasanku untuk terlebih dahulu menyerahkan hal ‘sakral’ tersebut kepada adikku? Apakah kotor ketika aku mencoba berkorban dan memberikan yang terbaik bagi orang-orang yang kusayangi?
Seketika juga singgungan-singgungan masyarakat dan teman-teman mengusikku, pertama kali aku merasakannya ketika pada saat aku, kakak sulungku, mamah dan adik bungsuku berbelanja perlengkapan pernikahan. Saat memilih kain untuk baju pengantin, sekilas kulihat mamah, adikku dan tukang kain sangat bersemangat memilihkan kain terbaik untuk pernikahan agung itu, ketiganya sangat ceria dan saling berbagi pengalaman diiringi doa untuk calon mempelai, seketika hatiku terusik..
“Tuhan, bagaimana dengan aku?!” tapi ketika ku tengok lagi pada sudut lain,
kulihat kakak sulungku sebagai perawan pertama terlihat menikmati aktifitas ini, lantas mengapa aku mempunyai hati seburuk ini? Tak pantas rasanya ketika hati ikhlas itu terusik hanya karena hal-hal sepele seperti singgungan masyarakat yang berpandangan kolot. Aku menarik nafas dalam dan kembali ikut bergabung dalam keceriaan itu.
“tuhan, saksikanlah bahwa aku masih tegar!”.
***

5 hari menjelang pernikahan adikku, kesibukanku semakin bertambah, untuk sementara kulupakan semua tugas-tugas kuliahku, makalah-makalah yang harus ku buat sebagai tiket UAS hari senin depan. Aku yakin bisa mengerjakan semua itu dengan baik meskipun harus lebih ngebut dari biasanya.
Seusai kuliah aku segera bergegas pergi rumah Ua, sebelum berangkat ke kampus mamah berpesan untuk mengambil mas kawin yang tertinggal di rumah Ua. Saat perjalanan diiringi rinti-rintik hujan, dalam dinginnya suasana membawaku pada suatu kondisi dimana aku ingin merenungi semuanya yang terjadi….
Tentang masa kecil yang indah, tentang keluarga yang bahagia, tentang persahabatan yang mewarnai perjalanan hidup dan tentang cinta sejati yang masih tersembunyi…entah kemana harus kucari,,tentang diriku yang tak pernah mengecap pacaran, ketika perempuan-perempuan seusiaku tahu apa itu cinta, dan seperti apa itu laki-laki, tentang diriku yang selalu minder ketika teman-teman yang selalu membanggakan dan menceritakan pacarnya yang penuh perhatian dan cinta. Dan aku si perawan cinta yang masih ada ketika perawan-perawan lain telah menikmati cinta walau hanya sekilas, dan akulah perawan kedua yang tersisa dikeluarga selain si perawan pertama yakni kakak sulungku.
“tak satu orangpun yang kehilangan cinta sejatinya” itulah yang terngiang ditelingaku ketika tidak sengaja aku melihat kata-kata itu disebuah buku.
Sampailah aku di rumah Ua, seluruh keluarga seperti terhanyut oleh detik-detik agung itu, aku menaggapi semua respon mereka dengan bahagia. Namun kembali perasaanku terusik ketika salah satu dari Ua menarikku kesuatu ruangan, hanya aku dan beliau, hanya kami berdua, entah apa yang akan beliau bicarakan, tapi perasaanku sudah tidak enak.
“Apakah kamu Ikhlas dengan pernikahan adikmu?” mata beliau menatap tajam mataku, jantungku berdegup kencang. Aku terdiam dan menelan ludah dengan agak sulit, seperti menelan pil kepahitan yang tersangkut ditenggorokan.
“ikhlas..” ucapku singkat.
“Kalau kamu sakit hati, coba ungkapkan sama Ua, jangan ditutup-tutupi, jangan bohongi hatimu..” Ya alloh,,,apa maksud semua ini?? Tanya hatiku. Aku terdiam.
“ Ua tidak bisa membantumu lebih, tapi Ua akan berusaha mendoakanmu agar menjadi kuat, jangan sakit hati akan peristiwa ini, apalagi kalau kamu sampai stress!” aku semakin tak mengerti ucapan beliau. Ah, aku sudah muak dengan kata-kata ini! Tak bisakah semuanya sekedar berpura-pura untuk bersikap biasa-biasa saja tanpa menyikapi peristiwa ini secara berlebih-lebihan??
Dalam keadaan tertunduk dan diam aku mendengarkan baik-baik ucapan beliau, bagaimanapun dia adalah orang tua yang harus kuhormati, walau bagaimanapun sakitnya hatiku.
“tuhan, saksikanlah bahwa aku masih kuat!” teriak hatiku ketika berada di Angkot menuju stasiun dengan menitikan air mata. Untung saja aku masih bisa menahan air mata ini hingga tak dijatuhkan didepan mereka.
***
4 hari menjelang pernikahan membuat kesibukan keluarga semakin bertambah, tapi ada yang berbeda, untuk kali ini aku sedikit menjauhi kesibukan itu, hari-hariku lebih diisi dengan main dan berkeliaran tak jelas hingga malam. Ternyata baru aku sadari juga bahwa kakak sulungku bersikap demikian, jauh dilubuk hati kami sebagai perempuan ternyata luka itu ada, meskipun disisi lain kami berdua mencoba untuk bersikap ikhlas.
Saat malam menjelang setelah para tamu dari pihak keluarga sudah pulang, entah kenapa aku menangis. Apakah kakak sulungku juga demikian? Setelah dipikir-pikir kenapa aku mesti terluka? Bukankah sebenarnya aku adalah pihak yang menang dalam peristiwa ini? Bukankah aku bisa membuktikan kepada siapapun termasuk kepada tuhan sekalipun bahwa aku tegar? Mengapa aku mesti menangis? Mengapa aku mesti terluka? Bukankah Alloh akan memberikan momen ini juga kepadaku pada waktu yang tepat? Bukankah Alloh telah menjamin bahwa perempuan baik-baik adalah untuk laki-laki baik-baik begitu juga sebaliknya? Apa yang aku resahkan? Apa yang aku risaukan? Bukankah Alloh lebih mempercayai bahwa aku masih mampu untuk hidup sendiri? Bukankan semua keadaan akan baik-baik saja dan berujung indah???
“ tuhan, saksikanlah bahwa aku masih tegar!” bisik hatiku sebelum memejamkan mata dan berjanji untuk kembali memberikan yang terbaik pada momen agung ini.
***

Dan hari yang agung itupun terlaksana, aku menyaksikan adikku dirias dengan sangat cantik, memakai kebaya putih, bermahkota dan dihiasi melati yang harum, bibirnya dipoles lipstick merah, kelopak matanya yang indah disapu warna emas berkilauan,,tuhan terima kasih aku masih bisa menyaksikan semua ini.
Saat ijab kabul terucap, kulihat bapak menangis tersedu-sedu, disampingnya kulihat mamah yang tertunduk dalam, dan terakhir ku lihat seorang perawan pertama yang matanya berkaca-kaca, sedangkan aku..perawan kedua yang masih bingung untuk menampilkan ekspresi seperti apa.
Selintas kuingat lagi peristiwa kemarin malam saat aku dan kakak sulungku secara diam-diam membeli dan membungkus kado untuk acara pernikahan besok, dan tanpa seorangpun tahu bahwa aku telah menyelipkan sebuah puisi dalam kado itu. Puisi yang kubuat dengan diiringi kenangan-kenangan masa kecil dan hari-hari yang telah kami lewati bersama….
Aku memeluknya erat saat acara sungkeman, sangat erat dan seakan tak ingin kulepaskan, kutumpahkan air mataku di kebaya putihnya, aku berbisik pelan dan terbata-bata padanya
“semoga menjadi istri yang sholeh, keluarga yang sakinah mawadah dan warohmah…” hingga saat MC menyuruhku untuk melepaskan pelukan….
***

Akhirnya sampai kini semuanya berjalan baik-baik saja, dan aku mampu membuktikan bahwa fenomena “Runghal’ yang tabu ini harus didobrak, ini hanya sebuah budaya yang harus digeserkan. Meskipun memang para sesepuh dulu ingin menghargai dan menjaga hati anak yang lebih tua, akan tetapi bukankah Islam menganjurkan untuk menyegerakan pernikahan ketika jodoh itu telah ada, demi menjaga agama dan kehormatan, tidak ada aturan yang menetapkan bahwa pernikahan itu harus sesuai urutan anak.
Jika dilanggar maka dikhawatirkan anak yang dilangkahi akan sulit mendapatkan jodoh. Bukankah kekhwatiran sepuh itu akan terjawab dengan firman Alloh bahwa semua mahluk diciptakan berpasang-pasangan sesuai jenis mereka. Meskipun tak dapat dibohongi pula ada sedikit keresahan yang kadang-kadang muncul tapi aku yakin semua akan indah pada waktunya! Amin.

By: Maryanah_strong.