Rabu, 13 Maret 2013

Belia “beli”-an

“pasti kamu sedih..” ucap Sali sangat datar. Dia berusaha tak menampakan perasaannya.
“Udah jelaslah sal, kemarin malam aku sama dia berantem.. emang sih masalahnya sepele, tapi gak tau kenapa dia suka minta putus-putus gitu, kadang dia nuduh aku yang nggak-nggak, padahal harus gimana lagi supaya dia percaya sama aku..” jelas Arya panjang lebar.
Suasana mendadak sepi. Sali terdiam.
“Lho, kamu malah diam?” Tanya Arya. Sali menggeleng kepalanya.
“udah ah ah, aku mau pulang duluan” Arya pergi dengan muka yang kacau. Dia meninggalkan Sali sendirian dibawah rindang pohon Flamboyan di halaman sekolah.
Ada butiran air mata mengiringi kepergian Arya. Seandainya dia tahu yang sebenarnya…
Satu persatu daun kering berguguran bersama hembusan angin, matahari sudah mulai terbenam namun Sali masih tak mau beranjak dari tempatnya. Dia masih saja menangis, sedih akan sikap Arya.


**

“Cit, kamu tau gak kalo udah 3 hari ini Arya sakit?” Tanya Sali. Citra menatapnya lurus.
“terus? Apa salah gua kalo dia sakit?!” jawab Citra sinis. Sali membalas tatapan itu.
“kalo iya, gimana?” Citra diam.
“bukannya kalian pacaran? Tapi kenapa lo gak pernah perhatian sama Arya?!” kata Sali nadanya sedikit meninggi. Dia kesal dengan cewek itu.
2 mata saling memandang, keduanya tetap tak mau mengalah. Beberapa menit kemudian.
“kamu ikut aku sekarang!” Sali segera menyambar tangan Citra.
“ih… apa-apan sih! Norak banget sih lo! Lepasin tangan gua!” namun Sali tetap membawa citra kesuatu tempat. Citra tetap berontak.
“kamu tunggu disini” pinta Sali.
Dengan kesal Citra menunggu diluar sebuah Wartel dekat sekolah. Tak lama kemudian
“Cit, sini masuk”
Citra menghampiri dengan sedikit kebingungan.
“Nih, Arya mau ngomong” Sali menyerahkan gagang telepon itu pada Citra.
Entah apa yang mereka bicarakan, yang jelas hati Sali sangat sakit. Namun dia lakukan itu untuk Arya, cowok yang disukainya. Karena tak tahan akan menangis Sali segera pergi menuju kelas meninggalkan Citra dan Arya.

**

“Sal ada surat!” panggil neneknya Sali. Pasti dari kedua orang tuanya. Yah, selama SMA ini Sali memang terpisah dari ibu dan bapaknya untuk sekolah. Sali sebenarnya berasal dari sebuah desa terpencil di Garut.
Sudah setumpuk surat dari ibu bapaknya yang tersimpan rapi dilemari usang Sali. Kali ini entah apa isinya. Perlahan-lahan ditengah cahaya lampu 5 watt yang temaram Sali membuka surat itu.
“Sali, apa kabarmu nak? Ibu dan bapak sudah kangen, kelima adikmu juga sangat ingin bertemu denganmu.
Anakku Sali, kamu adalah anak kami yang palng besar. Semula kami ingin menyekolahkan kamu hingga perguruan tinggi tapi kami adalah orang tua yang miskin, begitu banyak hutang dimana-mana.
Maafkan kami anakku, jika kami terpaksa memintamu untuk berhenti sekolah. Kami butuh orang yang ikut membantu untuk menambah penghasilan. Sangat berat hati kami minta kamu pulang ke garut nak!...”
Lagi-lagi air mata Sali jatuh, dia tak kuasa untuk membaca lagi surat itu. Jika dia putus sekolah maka cita-citanya menjadi guru akan hilang, dan itu juga berarti dia akan berpisah dengan Arya. Sahabat sekaligus cowok yang disukainya.
“kenapa hidup tak adil begini?” Tanya hati Sali. Surat itu basah oleh butiran air mata Sali.
Dia tak buru-buru untuk bercerita pada sang nenek.

**

“Arya, aku mau ngomong sesuatu” ajak Sali. Arya menoleh. Dia tersenyum pada Sali dengan senyuman yang manis. Sali sedikit tertunduk.
“sini aja, tapi jangan lama-lama yah.., aku udah ada janji sama Citra” Sali mengangguk.
“a.. a…aku harus pulang nih ke Garut” kata Sali.
“oh pulang kampung? Ya udah hati-hati yah Sal, pulangnya bawa Cokodot yah hehehe..” Arya terkekeh.
“bukan, begini maksudku itu…”
“Arya!” panggil seseorang memotong ucapan Sali. Yup, dia Citra.
“aduh sory yah Sal, ntar kita sambung lagi, kalo kelamaan si dia bisa marah..” kilah Arya, segera langkahnya melaju meninggalkan Sali yang diam berdiri mematung. Sosok Arya yang berlari dia simpan kuat di ingatannya.
“selamat tinggal ya…, semoga kamu bahagia selamanya” kali ini Sali tak menangis, meski dadanya sakit dan terasa pengap.
Matanya masih mengamati Arya yang tengah mencubit mesra pipi Citra lalu memegang tangannya. Menuntun ke tempat parkir motor.
“sudahlah sal, kamu gak boleh sedih terus..” bisik hatinya.
Sesudah Arya dan Citra pergi diapun segera berpamitan pada guru-guru disekolah, terutama guru Matematika kesayanganya, Bu Dika.
“sayang… sebenarnya ibu gak rela kamu putus sekolah” air mata Bu Dika tak mau berhenti. Ada keharuan menyeruak diruangan guru itu.
“tetap optimis ya anakku..” lanjut kata Bu Dika. Sali menangis sejadinya dipelukan Bu Dika.
Hari itu Sali pergi naik angkot, jika biasanya dia jalan kaki, itu karena hari ini dia ingin segera pergi meninggalkan sekolahnya yang begitu berbekas dihatinya.

**

“sal, kamu harus tabah ya! Kita beda sama orang-orang kaya sana. Bisa makan enak, bisa jajan dan sekolah. Nah kalo kita orang miskin begini. Kalo sekolah ya mana mungkin bisa buat makan” ucap neneknya berusaha menghibur.
Dibawah bantal yang sudah lapuk dan lepet air mata Sali berjatuhan bak hujan deras, dia menangis sesegukan, dadanya terasa pengap. Dia ingin sepert yang lainnya, melanjutkan sekolah.
“tapi nek, apa orang miskin seperti kita dilarang punya mimpi?!” Tanya Sali.
‘kamu punya mimpi apa sih sal? Yang penting buat kita bisa makan”
“itu bohong, setiap manusia berhak buat punya impian nek…gimana bisa maju hidup kita kalo Cuma berkutat sama makan!” balas Sali. Sang nenek tak menjawab.

**

Di bis yang pengap dan panas juga berdesak-desakan Sali berhimpitan dengan sepasang anak muda-mudi yang tengah bermesraan. Dia kesal sekali pada mereka, mengingatkan saja pada Arya dan Citra.
“ah apa kabar dengan mereka? Bagaimana Arya sekarang? Apa dia sedih dengan kepergiaanya? Ah, tentunya tak mungkin, jika Citra yang pergi baru dia sedih” fikirnya.
Perjalanan yang cukup melelahkan mengantarkannya pada desa tempat kecilnya itu, sebuah desa yang terbentang pesawahan yang luas, sejuk, disisi jalan berjajar pohon pisang. Matahari sore menyorot bayangan tubuhnya yang kecil semampai. Kulitnya yang bersih seakan emas yang berkilauan. Tinggal beberapa meter lagi dia sampai dirumah.
Namun yang disaksikannya adalah rumahnya yang telah disegel. Kosong dan telah usang, banyak debu serta tulisan “DISITA’.
“kemana bapak dan ibu?” Tanya nya bingung. Lalu seorang tetangga memanggilnya.
“duh, neng Sali.. rumah itu udah di ambil oleh juragan koswara. Keluarga neng udah pindah ke kontrakan bu Yati” tanpa pikir panjang lagi Sali segera berlari menuju kontrakan.

**

“Cit, kamu tega banget yah! Kita belum putus juga kenapa kamu udah selingkuh sama Kak Rio?!” teriak Arya sangat marah.
“lo mestinya nyadar, gue mau pacaran sama lo karena kasian aja!”
Bruk!! Dunia serasa runtuh bagi Arya. Tiba-tiba dia mengingat Sali.

**

“sayang… sudilah kamu terima tawaran ibu dan bapakmu ini! Ibu mohon!” desak ibu Sali.
“tapi… ni gak adil bu. Kemarin dalam surat ibu bilang buat nyuruh bantu kerja, tap kok sekarang malah maksa-maksa Sali buat mau nikah!” elak Sali.
“tapi kami terdesak, coba kalau kami terus terang pasti kamu gak mau pulang..” jawab ibunya.
“kami mohon Sali, hutang kita udah terlalu banyak…”
Sali segera beranjak pergi keluar dari kontrakan itu. Ditengah hujan deras.
“Sali…! Sali…! Mau kemana kamu.. kembali nak!” teriakan itu tak digubris.
Langkah kaki Sali melesat menerjang hujan deras dan menembus jalan yang buruk diantara kebun singkong. Entah akan kemana dia, yang pasti hatinya sangat sakit.
Saat lelah, kakinya terseok batu dan terjatuh. Air matanya tak bisa lagi dibedakan dengan air hujan. Tubuhnya basah dan kedinginan, namun dia tak peduli itu, dia hanya ingin keadaannya berubah tak seperti ini.

**

“perempuan itu yang penting dalam hidupnya yah nikah sama laki-laki baik dan kaya. Pasti bahagia”
“buat apa sekolah tinggi-tinggi, toh ntar juga ngulek sambel lagi”
“kubur mimpi mu nak, gak usah pengen nikah sama yang kita cintai, perempuan lebih baik dicintai biar nanti terjamin hidupnya.”
Puluhan kata-kata masuk ditelinganya.
“Untuk seperti itukah hidup perempuan diciptakan?
Begitu rendahkah perempuan untuk sekedar dihargai dan didengar hatinya?
Tabukah perempuan mempunyai impian untuk maju?
Haramkah tangan kami menyentuh kertas dan pena?
Benarkan kami, para perempuan diciptakan hanya untuk melayani dan melahirkan?
Tak pantaskah kami untuk meraih cinta-cinta yang kami anggap patut untuk kami dapatkan juga?”

Hari itu Sali bersanding dengan anak juragan Koswara. Sehingga lunaslah hutang keluarganya. Dalam lubuk hati Sali, dia seperti gadis belian, yang punya “harga” untuk dpasarkan, dibeli, lunas dan dimiliki. Padahal diapun punya impian dan cinta yang tak mungkin bisa ada “harga’’ untuk membelinya.
Namun dia berjanji kelak, anak perempuannya tak akan mengalami kepedihan seperti ini. Sepert dirinya dan perempuan-perempuan lain didesanya. Anak perempuannya harus sekolah tinggi dan punya cita-cita, juga berhak untuk mendapatkan cinta.

**

Arya tertegun saat melihat Sali yang menyapu halaman rumah yang luas, dia tertegun melhat perut Sali yang besar. Itukah Sali sekarang?
Arya menyesal…
Sangat menyesal …

By: maryanah_strong.
Rancaekek, 13 Maret 2013.
Pukul 17;12.

“Dibalik kodrat kita, jangan menyerah jika kita punya mimpi, punya potensi dan juga punya cinta, karena… Setiap perempuan berhak bahagia”





Selasa, 12 Maret 2013

aku perempuanmu

sayang...
aku adalah milikmu
satu-satunya perempuan yang telah tersimpan namanya
sebelum kamu ada dibumi ini
perempuan ini hanya untukmu
diantara milyaran perempuan yang Dia ciptakan

sayang...
perempuan ini bisa sedih dan menangis tanpa kamu tahu
saat perempuan ini mendengar nama perempuan lain dimulutmu
perempuan yang hanya datang seperti bayangan
namun kamu anggap dia ada.

sayang ...
perempuan ini bisa memberimu lebih dari apa yang pernah kamu berikan
sebuah cinta, ketenangan dan kenangan
perempuan ini yang akan membawamu menembus syurga
dan mempersembahkan kepadamu senyum tuhan.

sayang ...
perempuan ini memang datang kepadamu sebelum perempuan bayangmu dimasa lalu
namun percayalah perempuan ini ada sebelum kamu ada
bisakah kamu lupakan bayanganmu itu?
lantas lihat perempuan ini seutuhnya
tanpa terbagi kenangan dengan perempuan bayangmu

sayang...
perempuan ini rela sakit untukmu
perempuan ini rela mati untukmu
perempuan ini rela lelah untukmu
perempuan ini rela mengandung anakmu
perempuan ini rela mengasihimu dan anakmu

sayang...
hanya perempuan ini yang bisa membuatmu sempurna ditengah keterbatasanmu...
perempuan ini tak minta apa-apa
perempuan ini hanya minta cinta yang setia..

Jumat, 01 Maret 2013

Dari Seribu Ibu

Perempuan itu masih saja enggan melihat wajah sang bayi, badannya tetap membelakangi tanpa mau peduli tangisan dan rengekan buah hatinya. Sudah seminggu yang lalu dia melahirkan, semua orang tak mengerti dengan sikap perempuan itu, padahal sebelumnya dia begitu menginginkan anak.
Sang suami, kadang-kadang ibu mertuanya bergantian membuat susu, mengganti popok dan memandikan sang bayi. Namun sekarang mereka berdua kewalahan karena bayi itu mengalami demam tinggi. Yang dia butuhkan adalah dekapan dan perhatian sang ibu, namun lagi-lagi perempuan itu akan marah jika dipaksa untuk sekedar memeluknya.
“jauhkan dia dariku!”
“aku benci dia!”
Perempuan itu pun tak mengerti kenapa dirinya menjadi begitu enggan dengan kehadiran buah hatinya, tapi yang pasti dia masih merasa bahwa perjalanannya menjadi ibu begitu berat dan menyakitkan.
“ada apa dengan istri saya dok?”
“dia terkena baby blues syndrome..”
Suaminya langsung tertegun menatap nanar kedua perempuan yang amat dicintainya, istri dan anak perempuannya.


**
Dirumah kosong jauh dari pemukiman warga perempuan belia itu sembunyi. Darah masih mengalir dikakinya, sedangkan tangisan bayi semakin membuatnya panik. Dia harus segera menemukan sesuatu, entah itu kardus, kantong kresek atau tas bekas.
Nafasnya terengah-engah, lagi-lagi dia terjatuh karena kelelahan. Gadis belia itu baru saja melahirkan anak hasil hubungannya dengan sang pacar. Padahal 2 minggu lagi dia harus mengikuti Ujian Nasional.
Tak ada yang bisa dipakai untuk menyembunyikan bayi itu, akhirnya sang bayi merah pun dibuangnya langsung ke sungai yang deras. Matanya kembali basah oleh air mata saat melihat tubuh mungil itu tergulung arus hingga jauh entah kemana…
Ingatannya merekam kuat saat tangan mungil sang bayi menggenggam erat rambutnya, begitupun mata sang bayi yang menatap wajahnya begitu dalam.
“maafkan ibu sayang….” Jerit nuraninya.



**
Kaos tangan mungil itu masih rapi tersimpan dilaci lemarinya, setiap melihat benda itu jantungnya berdetak keras. Perempuan itu merasa sangat berdosa dan hina…
Benda itu saksi satu-satunya yang tertinggal akan peristiwa rumit 6 tahun lalu, saat dia menjual bayi itu kepada orang lain karena tak mampu membayar persalinan.
Jika masih ada mungkin anaknya sudah kelas 1 SD dan sudah berada bersama keluarga kaya. Padahal perempuan itu tidak tahu kalau sang anak telah tiada, gijalnya dijual ke singapura dan terjerat perdagangan organ.
“sayang… ibu rindu..” air matanya menetes lagi.




**
Air mata tak berhenti mengalir disudut mata buah hatinya, sudah 8 hari anak bungsunya itu koma, inveksi di otak dan pendarahan di alat vital menjadi penderitaannya. Entah karena apa penyebabnya, namun yang pasti pihak rumah sakit dan kepolisian tengah serius membongkar sesuatu dibalik sakit anaknya itu. Perempuan itu tak mengerti yang terjadi, maklum dia hanya seorang pemulung yang tak pernah sekolah.
“anak ibu korban perkosaan…”
Ibunya tetap termangu, bingung.
“sama siapa?” Tanyanya datar.
“kami masih menyelidiki, ibu dan bapak bisa ikut kami ke kantor polisi untuk diminta keterangan?”
Sebenarnya ada apa? Hati perempuan itu masih bertanya-tanya. Sampai pada kemudian anaknya tak mampu lagi bertahan pada sakitnya kali ini, dia pergi. Anak bungsunya yang masih sangat belia.
Kebingungan sang ibu pun terjawab, bahwa suaminyalah penyebab kematian itu. Seseorang yang tak pernah dia sangka tega berbuat keji melakukan perkosaan pada anaknya sendiri. Kurang apa lagi dirinya sebagai istri?
Kini perempuan itu mengerti, air mata sang anak saat terbaring sakit adalah bahasa tubuh yang melukiskan betapa batinnya terluka.


9 Perempuan Semesta

Perempuan pertama..

Berdiri mematung di depan jendela dapur, tatapannya kosong mengamati ke 2 jagoan kecilnya yang tengah asyik bermain ditaman belakang rumah, sementara pisau dapur yang digenggamnya dan irisan wortel terbiar begitu saja. Lagi-lagi yang terpikir adalah hatinya yang bisa dikatakan 7 tahun sejak pernikahannya dirasakan telah mati. Suami yang telah bersamanya selama ini, yang telah memberikan apa saja demi kebahagiaannya masih belum bisa membuat hatinya bergetar sedikitpun. Malam-malam yang dilalui tanpa cinta, terasa hambar, yang selama ini diberikannya hanya sebuah pengabdian dan kewajiban, padahal apa yang kurang dari hidupnya sekarang? Ada suami yang begitu baik dan mencintainya, ada anak-anak yang sehat dan lucu, ada rumah besar yang melindunginya, ada banyak fasilitas yang memanjakannya… namun masih saja Nol dimata hatinya.. “ Katakan.. bagaimana agar bisa membuatmu jatuh cinta padaku?” kata itu meluncur dari mulut suaminya, tatkala sang istri hendak pergi ke rumah orang tuanya, meninggalkan ke dua anak yang menangis tak rela untuk ditinggalkan. Tak ada kata yang keluar dari sang istri, dengan dingin langkahnya berlalu meninggalkan semuanya.

**

Perempuan kedua..

Sebuah guci kecil hancur didepannya, terdengar tangis dan teriakan yang menyakitkan dari seorang perempuan tatkala pukulan demi pukulan membabi buta ditubuhnya, tak ada perlawanan sama sekali, padahal ini bukan kali pertamanya dia dijadikan pelampiasan kemarahan suami yang telah menikahinya selama 4 tahun. Tak ada yang tahu kalau sejak satu tahun pernikahannya, perilaku sang suami berubah drastis menjadi sangat emosional, berbeda sekali ketika masa pacaran dulu. Bahkan tembokpun seakan bisu menyaksikan setiap penyiksaan itu terjadi, semuanya bungkam termasuk sang istri. Perempuan itu tak berani untuk bercerita kepada siapapun tentang selama ini yang telah dialaminya.. Selalu saja mengelak ketika para tetangga atau keluarga bertanya tentang luka lebam yang menghiasi wajah atau tubuhnya.. Begitupun, perempuan itu tak berani untuk mengajukan cerai, berusaha sekuat tenaga untuk tetap mempertahankan pernikahannya.. “Karena aku terlalu mencintainya..”

**

Perempuan ke tiga “Tuhan.. aku ingin menikah, walaupun dengan siapapun..!” sang gadis yang kini genap berusia38 tahun itupun melingkari angka 23 di Kalender kamarnya. Ada butiran air mata melintasi pipinya yang sedikit demi sedikit berkeriput. Dia sangat ingin mempunyai suami dan anak, seperti ke 4 adiknya yang telah bahagia bersama keluarganya masing-masing. Selama ini bukan tak ada pemuda yang mendekatinya, hanya saja selalu ada peristiwa yang membuat mereka urung untuk menikahinya, dan itu sangat menyakitkan, terlebih dia sangat muak dengan komentar-komentar pada tetangga yang menyebutnya “Perawan Tua”.


**
Perempuan ke empat

“Maukah kamu menjadi istriku?” kata indah itu langsung melumpuhkah hati sang gadis. Dihari ulang tahunnya yang ke 18, bertepatan saat dia baru lulus SMU ternyata kekasih yang selama ini dipacarinya yang usianya 10 tahun lebih tua mengajak menikah.. Sangat tidak diduga, ini suatu kejutan yang sangat membahagiakan.. disaat banyak perempuan yang telah matang belum juga menikah ternyata dirinya dimudahkan untuk meraihnya. Cincin indah itupun melingkar dijari manis sang gadis, lalu sang kekasih mengecup dahinya.. “I Love You..”
**

Perempuan ke lima

Langkahnya gontai, sudah seharian ini dia berjalan sangat jauh dengan membawa koper yang cukup berat, gadis berbadan dua ini bingung hendak kemana malam ini dan malam-malam selanjutnya dia berlindung. Pagi kemarin dia di usir oleh keluarga saat tahu dirinya hamil oleh sang pacar yang tak mau bertanggung jawab yang kini entah ada dimana. Banyak hal yang menghantui pikirannya, ada rasa marah, dendam, benci dan rasa bersalah.. ada pilihan yang pikirkannya. mengaborsi kandungannya, bunuh diri atau membesarkan sang anak tanpa ayah.. “ Aku menyesal memberikan semuanya untukmu.., dimana kamu sekarang?” Dia teringat ketika sang pacar merengek-rengek minta bukti cinta kepada sang gadis dengan mempertaruhkan kesuciannya!

**

Perempuan ke enam Disudut ruangan kosong yang berukuran 5x4 meter itu terdapat seorang perempuan dengan rambut kusut dan pakaian yang lusuh, wajahnya pun terlihat sangat tak terurus, dia seharian tetap seperti itu, posisinya tak pernah berubah. “Dia akan berteriak dan mengamuk ketika mendengar suara anak kecil” “Kenapa?” “Dulu, 5 tahun yang lalu dia mengalami perkosaan dan melahirkan anak yang tak pernah diinginkannya. Mungkin, suara anak-anak mengingatkannya pada peristiwa kelam itu..” “Lantas dimana anaknya sekarang?” “Meninggal, saat dilahirkan” “Meninggal?” “Iya, meninggal dibunuh ibunya” terjawablah. Dan tak ada kata-kata lagi. “Perempuan yang malang..” ucap Psikiater sambil menutup pintu kamar no 9 Rumah Sakit Jiwa Sariningsih.

**

Perempuan ke tujuh

Kepulan asap rokok hampir memenuhi seluruh ruangan mungil yang telah ditempatinya selama 8 tahun, sejak ayah tirinya menjual dirinya kepada seorang germo. Usianya padahal baru 28 tahun tapi raut mukanya seperti jauh lebih tua 10 tahun, ini timbul karena rasa lelah yang selalu dipendamnya, tak pernah mampu ia bagi kepada siapapun. Baginya hidup hanya malapetaka, tak ada kebahagiaan. Mereka bilang dirinya adalah sampah masyarakat, mereka bilang dia adalah pelacur, mereka bilang dia adalah manusia kotor, dan mereka bilang dia pantas mati… Namun, tak pernah ada yang mau mengerti dirinya seperti ini karena ulah laki-laki juga.. Sebilah pisau dapur yang masih sangat tajam siap membelah urat nadi tangannya, perempuan itu bersiap untuk mati.

**

Perempuan ke delapan..

Malam adalah sahabat terbaiknya yang selalu setia untuk menemani hayalannya. Di dinding kamarnya banyak sekali foto sang lelaki pujaan yang selama ini di kagumi, namun tak pernah di katakan. Cinta adalah rahasia, perempuan muda ini tak pernah berani untuk mengungkapkan. Karena rasa malu, perempuan ini memutuskan untuk berdiam diri. Menahan sakit sendirian ketika melihat sang pujaan menggandeng perempuan lain, merasakan kebahagiaan ketika sang pujaan terlihat gembira. Menurutnya cinta yang dirasakannya adalah sangat tulus, tak mengharapkan apa-apa. Sampai kini dia tak pernah membagi cinta untuk lelaki lain, hanya untuk pujaan hatinya. Rasa malu tetap membungkus perasaan cintanya, hingga tanpa terasa di usianya yang senja dia tetap begitu, dan tidak pernah menikah, dia hanya menginginkan lelaki itu.

**

Perempuan ke Sembilan

“Nanti laporannya saya kirim ya, sekalian juga sama proposal yang baru diselesaikan agar proyek itu bisa segera kita dapatkan. Okeh, saya tunggu besok dikantor..” “ Sore ini saya ada presentasi penting, saya sibuk jangan ganggu saya , Ok?! Klik..!” “ Seminggu saya akan dinas ke Surabaya, tolong carikan hotel yang terbaik disana dan dekat ke lokasi kantornya juga” Bla.. Bla.. Kesibukannya terus menggunung. Namun ketika sang Ibu memintanya untuk segera menikah maka jawabannya selalu saja.. “Saya sibuk bu, karir saya yang terpenting dan bukanlah menikah…” Ibunya sedih mendengar jawaban puterinya itu. *** Melalui tulisan ini saya meysakini bahwa setiap perempuan mempunyai rahasianya sendiri yang tak akan pernah bisa dibagi kepada sisapapun kecuali kepada kematian.

Rancaekek, 7 Agustus 2011. pukul 12; 29.