Senin, 05 April 2010

Perawan Kedua

“Hati-hati ya dijalan,,” ucapku pada adikku dan suaminya. Didepan pintu gerbang rumah aku masih menatap kedua sosok itu sampai keduanya menghilang dari pandangan mata. Aku menatap jemari mereka yang saling berpegangan, sesekali kulihat mereka saling menatap lalu tertawa, ya…mereka bahagia dengan pernikahannya, dan aku juga bahagia dengan kesendirianku. Tapi benarkah aku benar-benar bahagia????
Usiaku genap 22 tahun pada bulan Febuari lalu, sedangkan diusia 21 tahun adikku sudah menjadi seorang istri. Meskipun aku kakaknya tapi skenario Alloh lebih mempercayakan sebuah pernikahan pada adikku dulu dari pada kepadaku. Takdir ini tak menjadi masalah bagiku, malah menjadi suatu kebahagiaan yang aku rasakan juga, tapi itu yang kurasakan dulu, sekarang terkadang ada perasaan lain yang mengusik hatiku perempuanku….
Ketika sebulan sebelum pernikahan adikku seketika hidupku menjadi berubah, seakan ada kekuatan baru yang mendorongku lebih bersemangat untuk hidup. Saat itu akulah menjadi peran utama yang membuat pernikahannya terjadi, meskipun berawal dari ketidaksengajaanku menyuruh calon suaminya untuk menyegerakan pernikahan, karena itulah yang dianjurkan agama agar meraih cinta Alloh selain menjaga kesucian diri dan hati.
***

Waktu sebulan bukanlah waktu yang panjang untuk menyiapkan suatu pernikahan, dimulai dari 2 minggu menjalani proses ta’aruf, kemudian pada minggu ketiganya langsung lamaran, barulah ditentukan bahwa pernikahan akan berlangsung 2 minggu kedepan. Tapi Alhamdulillah semua berjalan dengan sangat mudah.
Menyaksikan dan terlibat langsung dalam proses agung itu seakan memberikanku banyak hikmah, bahwa cinta sejati itu memberi dan memberi, tanpa mengharapkan penerimaan, jika kita mendapatkan balasan itu tidak lain dari apa yang telah kita beri.
Tidak masalah ketika aku menjadi kakak yang terlangkahi oleh adikknya dalam urusan pernikahan, karena memang tak ada alasan untuk aku marah atau tidak menerima keadaan ini, inilah yang terbaik dan sebenarnya sebagai seorang feminis, aku telah menang dan mampu mendobrak budaya masyarakat yang terbilang sangat tabu untuk dilakukan, bahwa seorang adik tidak pantas menikah sebelum kakaknya dulu yang menikah.
Seiring waktu ternyata aku adalah seorang perempuan biasa, ketegaran dan keikhlasanku teruji ketika seminggu detik-detik pernikahan adikku berlangsung. Bermula dari pertanyaan sebagian tetangga, teman dan sebagian keluarga tentang rencana pernikahan adikku, hingga pada akhirnya mereka semua mengakhiri perbincangan dengan “ Kapan Neng menyusul? Masa kakaknya kalah sama adik!” aku hanya tersenyum sumringah, tak bisa menjawab apa-apa, “ Neng ridho dirunghal? Neng teu sakit hati? Atau ada perasaan minder?”, saat pertanyaan itu yang keluar ternyata membuat hatiku menjadi terkikis.
Ridho? Sakit hati? Minder? Apakah aku normal ketika aku sebagai pihak ‘korban’ di mata masyarakat merasa tidak mengalami hal tersebut? Mengapa mereka malah tega mengusik perasaanku yang baik-baik saja? Sehingga kata-kata itu malah berbalik mengusik hatiku! Apakah mereka tak bisa berpura-pura untuk ‘biasa-biasa’ saja menghadapi fenomena ini? Apakah mereka tidak mengerti perasaanku yang bisa saja terusik dan berubah terbalik dengan singgungan-singgungan tersebut? Apakah hina ketika aku mampu membuktikan keikhlasanku untuk terlebih dahulu menyerahkan hal ‘sakral’ tersebut kepada adikku? Apakah kotor ketika aku mencoba berkorban dan memberikan yang terbaik bagi orang-orang yang kusayangi?
Seketika juga singgungan-singgungan masyarakat dan teman-teman mengusikku, pertama kali aku merasakannya ketika pada saat aku, kakak sulungku, mamah dan adik bungsuku berbelanja perlengkapan pernikahan. Saat memilih kain untuk baju pengantin, sekilas kulihat mamah, adikku dan tukang kain sangat bersemangat memilihkan kain terbaik untuk pernikahan agung itu, ketiganya sangat ceria dan saling berbagi pengalaman diiringi doa untuk calon mempelai, seketika hatiku terusik..
“Tuhan, bagaimana dengan aku?!” tapi ketika ku tengok lagi pada sudut lain,
kulihat kakak sulungku sebagai perawan pertama terlihat menikmati aktifitas ini, lantas mengapa aku mempunyai hati seburuk ini? Tak pantas rasanya ketika hati ikhlas itu terusik hanya karena hal-hal sepele seperti singgungan masyarakat yang berpandangan kolot. Aku menarik nafas dalam dan kembali ikut bergabung dalam keceriaan itu.
“tuhan, saksikanlah bahwa aku masih tegar!”.
***

5 hari menjelang pernikahan adikku, kesibukanku semakin bertambah, untuk sementara kulupakan semua tugas-tugas kuliahku, makalah-makalah yang harus ku buat sebagai tiket UAS hari senin depan. Aku yakin bisa mengerjakan semua itu dengan baik meskipun harus lebih ngebut dari biasanya.
Seusai kuliah aku segera bergegas pergi rumah Ua, sebelum berangkat ke kampus mamah berpesan untuk mengambil mas kawin yang tertinggal di rumah Ua. Saat perjalanan diiringi rinti-rintik hujan, dalam dinginnya suasana membawaku pada suatu kondisi dimana aku ingin merenungi semuanya yang terjadi….
Tentang masa kecil yang indah, tentang keluarga yang bahagia, tentang persahabatan yang mewarnai perjalanan hidup dan tentang cinta sejati yang masih tersembunyi…entah kemana harus kucari,,tentang diriku yang tak pernah mengecap pacaran, ketika perempuan-perempuan seusiaku tahu apa itu cinta, dan seperti apa itu laki-laki, tentang diriku yang selalu minder ketika teman-teman yang selalu membanggakan dan menceritakan pacarnya yang penuh perhatian dan cinta. Dan aku si perawan cinta yang masih ada ketika perawan-perawan lain telah menikmati cinta walau hanya sekilas, dan akulah perawan kedua yang tersisa dikeluarga selain si perawan pertama yakni kakak sulungku.
“tak satu orangpun yang kehilangan cinta sejatinya” itulah yang terngiang ditelingaku ketika tidak sengaja aku melihat kata-kata itu disebuah buku.
Sampailah aku di rumah Ua, seluruh keluarga seperti terhanyut oleh detik-detik agung itu, aku menaggapi semua respon mereka dengan bahagia. Namun kembali perasaanku terusik ketika salah satu dari Ua menarikku kesuatu ruangan, hanya aku dan beliau, hanya kami berdua, entah apa yang akan beliau bicarakan, tapi perasaanku sudah tidak enak.
“Apakah kamu Ikhlas dengan pernikahan adikmu?” mata beliau menatap tajam mataku, jantungku berdegup kencang. Aku terdiam dan menelan ludah dengan agak sulit, seperti menelan pil kepahitan yang tersangkut ditenggorokan.
“ikhlas..” ucapku singkat.
“Kalau kamu sakit hati, coba ungkapkan sama Ua, jangan ditutup-tutupi, jangan bohongi hatimu..” Ya alloh,,,apa maksud semua ini?? Tanya hatiku. Aku terdiam.
“ Ua tidak bisa membantumu lebih, tapi Ua akan berusaha mendoakanmu agar menjadi kuat, jangan sakit hati akan peristiwa ini, apalagi kalau kamu sampai stress!” aku semakin tak mengerti ucapan beliau. Ah, aku sudah muak dengan kata-kata ini! Tak bisakah semuanya sekedar berpura-pura untuk bersikap biasa-biasa saja tanpa menyikapi peristiwa ini secara berlebih-lebihan??
Dalam keadaan tertunduk dan diam aku mendengarkan baik-baik ucapan beliau, bagaimanapun dia adalah orang tua yang harus kuhormati, walau bagaimanapun sakitnya hatiku.
“tuhan, saksikanlah bahwa aku masih kuat!” teriak hatiku ketika berada di Angkot menuju stasiun dengan menitikan air mata. Untung saja aku masih bisa menahan air mata ini hingga tak dijatuhkan didepan mereka.
***
4 hari menjelang pernikahan membuat kesibukan keluarga semakin bertambah, tapi ada yang berbeda, untuk kali ini aku sedikit menjauhi kesibukan itu, hari-hariku lebih diisi dengan main dan berkeliaran tak jelas hingga malam. Ternyata baru aku sadari juga bahwa kakak sulungku bersikap demikian, jauh dilubuk hati kami sebagai perempuan ternyata luka itu ada, meskipun disisi lain kami berdua mencoba untuk bersikap ikhlas.
Saat malam menjelang setelah para tamu dari pihak keluarga sudah pulang, entah kenapa aku menangis. Apakah kakak sulungku juga demikian? Setelah dipikir-pikir kenapa aku mesti terluka? Bukankah sebenarnya aku adalah pihak yang menang dalam peristiwa ini? Bukankah aku bisa membuktikan kepada siapapun termasuk kepada tuhan sekalipun bahwa aku tegar? Mengapa aku mesti menangis? Mengapa aku mesti terluka? Bukankah Alloh akan memberikan momen ini juga kepadaku pada waktu yang tepat? Bukankah Alloh telah menjamin bahwa perempuan baik-baik adalah untuk laki-laki baik-baik begitu juga sebaliknya? Apa yang aku resahkan? Apa yang aku risaukan? Bukankah Alloh lebih mempercayai bahwa aku masih mampu untuk hidup sendiri? Bukankan semua keadaan akan baik-baik saja dan berujung indah???
“ tuhan, saksikanlah bahwa aku masih tegar!” bisik hatiku sebelum memejamkan mata dan berjanji untuk kembali memberikan yang terbaik pada momen agung ini.
***

Dan hari yang agung itupun terlaksana, aku menyaksikan adikku dirias dengan sangat cantik, memakai kebaya putih, bermahkota dan dihiasi melati yang harum, bibirnya dipoles lipstick merah, kelopak matanya yang indah disapu warna emas berkilauan,,tuhan terima kasih aku masih bisa menyaksikan semua ini.
Saat ijab kabul terucap, kulihat bapak menangis tersedu-sedu, disampingnya kulihat mamah yang tertunduk dalam, dan terakhir ku lihat seorang perawan pertama yang matanya berkaca-kaca, sedangkan aku..perawan kedua yang masih bingung untuk menampilkan ekspresi seperti apa.
Selintas kuingat lagi peristiwa kemarin malam saat aku dan kakak sulungku secara diam-diam membeli dan membungkus kado untuk acara pernikahan besok, dan tanpa seorangpun tahu bahwa aku telah menyelipkan sebuah puisi dalam kado itu. Puisi yang kubuat dengan diiringi kenangan-kenangan masa kecil dan hari-hari yang telah kami lewati bersama….
Aku memeluknya erat saat acara sungkeman, sangat erat dan seakan tak ingin kulepaskan, kutumpahkan air mataku di kebaya putihnya, aku berbisik pelan dan terbata-bata padanya
“semoga menjadi istri yang sholeh, keluarga yang sakinah mawadah dan warohmah…” hingga saat MC menyuruhku untuk melepaskan pelukan….
***

Akhirnya sampai kini semuanya berjalan baik-baik saja, dan aku mampu membuktikan bahwa fenomena “Runghal’ yang tabu ini harus didobrak, ini hanya sebuah budaya yang harus digeserkan. Meskipun memang para sesepuh dulu ingin menghargai dan menjaga hati anak yang lebih tua, akan tetapi bukankah Islam menganjurkan untuk menyegerakan pernikahan ketika jodoh itu telah ada, demi menjaga agama dan kehormatan, tidak ada aturan yang menetapkan bahwa pernikahan itu harus sesuai urutan anak.
Jika dilanggar maka dikhawatirkan anak yang dilangkahi akan sulit mendapatkan jodoh. Bukankah kekhwatiran sepuh itu akan terjawab dengan firman Alloh bahwa semua mahluk diciptakan berpasang-pasangan sesuai jenis mereka. Meskipun tak dapat dibohongi pula ada sedikit keresahan yang kadang-kadang muncul tapi aku yakin semua akan indah pada waktunya! Amin.

By: Maryanah_strong.

Rabu, 10 Maret 2010

Love Strong

Pagi hari yang terlihat sangat elok, langit berwarna biru cerah. Kedua wajah yang berbeda menatap langit yang sama menyaksikan hamparanya yang berbalut awan-awan tipis. Keduanya masih diam mematung sibuk pada fikiran masing-masing, entah apa yang ada dibenak mereka berdua, hanya saja semuanya terasa hampa.
“tidak terasa ya, akhirnya kita telah lulus SMA” ungkap Maria.
”ini impian kita bukan? beranjak dewasa bersama-sama ” jawab Tom. Tanpa Maria sadari, mata Tom menatap dirinya yang masih betah menatap langit. Sebuah wajah yang ayu dan sangat memesona yang selalu melekat dalam ingatan Tom, sudah sangat lama dia memendam getar-getar perasaan ini pada gadis yang kini ada disampingnya.
”eh, kamu sudah makan belum, aku bawa bekal lho! Dijamin masakan kali ini enak, kamu gak akan muntah-muntah lagi” seru Maria sambil sibuk mencari toples kecil di tas gandongnya. Tom tetap diam.
”ini cobalah” mata mereka saling berpandangan. Keadaan sunyi senyap.
“kamu jangan sedih ya jika aku pergi” kata Tom memecahkan kesunyian.
”pergi?” tanya Maria heras dengan ucapan Tom tadi.
”Maaf Maria, lusa aku pergi ke yogya, aku kuliah disana” kembali keadaan menjadi sunyi.
Mendengar ucapan Tom hati Maria menjadi sangat terluka tapi dirinya mencoba tegar karena Maria sadar cepat atau lambat dia harus berpisah dengan tom. Maria sudah siap dengan perpisahan.
”tidak apa-apa kok, pergi sana, kejar cita-citamu dan pulanglah kembali setelah kamu jadi orang” jawab Maria.
”huh, aku kira kamu bakal nangis atau merengek-rengek minta aku gak jadi pergi” ujar Tom mencandai Maria. Wajah Maria sedikit memerah.
”maksud lo?” keduanya lalu tertawa.
Bagi mereka hari itu merupakan seluet dari perjalanan kisah persahabatan mereka. Dan kini angin, pohon, kupu-kupu, langit dan seluruh semesta menjadi saksinya. Tanpa terasa perlahan-lahan keelokan langit memudar dan matahari turun keperaduaannya seolah lelah menyinari bumi selama seharian penuh.

Dear deary..
Tom tadi bilang bahwa lusa dia akan pergi ke yogya, buat kuliah. Huh, seandainya aku punya kesempatan yang sama aku juga ingin kuliah tapi kata ibu lebih baik aku bekerja saja karena kalo aku kuliah terus bagaimana dengan sekolah Farhan yang masih SMP??
Diary aku bingung,ikut ngejemput gak ya? Trus kalo aku kerja apa ya? Ah,,,pusing!! Udah ya,,ngantuk!
Diatas meja belajarnya Maria tertidur pulas, diterangi dengan lampu belajar yang menyorot dengan jelas wajah ayu yang dimiliki gadis desa itu. Kelap-kelip bintang menemani tidur Maria dan rembulan memeluk segala mimpi-mimpinya.
”benarkah kamu akan pergi sekarang?” tanya Maria dalam mimpinya.

**
”si Maria butuh kerja, kalo kamu punya informasi lowongan kerja kasih tau ya!” ujar ibunya Maria pada Bagus, anak tetangga sebelah yang telah bekerja disebuah hotel di Lembang.
”iya bu, akan saya usahakan, tapi apa mau si Maria itu kerja kalo dia harus pake rok pendek?” tanya Bagus kurang yakin.
”alah,,soal itumah bisa diatur, biar ibu yang ngomong ke si Maria”
”kalo gitu beres deh!”
Selintas Bagus mengintip sosok Maria yang tengah menjemur baju, tubuh ramping, kulit putih dan rambut yang hitam lebat membuat seorang Bagus tertarik dengan gadis belia itu. Bagi siapapun di kampung itu, Maria adalah bunga desa yang tanpa disadarinya mampu menundukan lelaki manapun yang melihatnya. Dia ibarat bunga yang sedang mekar, dan para kumbang berlomba-lomba menghisap manis madunya.
”ibu sudah ngomong sama si Bagus buat nyarikan kerja untuk kamu” ungkap ibu kepada Maria.
”kerja apa bu?” tanya Maria.
”gak tau, belum jelas pokoknya kalo ada kerja apapun kamu harus mau” Maria terdiam mendengar ucapan ibunya yang sedikit ketus itu.
”kamu harus kerja, jangan terus-terus saja tergantung sama ibu, kalo kamu gak mau udah aja kawin sama orang kaya biar bisa hidup senang, ibu juga kan bisa kecipratan” semakin lama Ibu berbicara semakin membuat resah hati Maria. Maria merasa jadi anak yang tidak berguna. Akhirnya Maria pergi diam-diam ke dapur, menghindari air matanya yang hendak jatuh. Kesal merasa nasihatnya tidak didengar, Ibu marah-marah.
”dasar anak bodoh, di nasihatin malah pergi!” sambil matanya mengawasi tajam anak gadisnya itu pergi menuju dapur.

**
Ibu kembali ngomel-ngomel, kali ini omongannya sudah keterlaluan, dia bilang aku anak bodoh hanya karena tidak terlalu merespon kata-katanya agar aku cepat kerja. Diary, aku tidak bisa membantah keinginan ibu karena aku tahu selama ini aku telah banyak merepotkan ibu yang sudah tua, tapi aku juga punya cita-cita yang ingin aku capai. Aku ingin sekolah.
Besok Tom pergi,,,
Bye,,bye,,
Maria sangat terkejut ketika pintu kamarnya dibuka, ”kamu Farhan? Aduh sebelum masuk ketuk dulu dong!”
”maaf kak, ini aku ada titipan buat kakak” katanya.
”titipan?” Farhan mengangguk.
”dari kak Tom” jawab Farhan.
”Oo..” Maria hanya ber Oo ria.
”kakak pacaran ya sama kak tom?” tanya Farhan iseng. Fiuh,,,
”sana pergi!” Farhan tertawa terklekeh-kekeh karena telah berhasil menggoda kakaknya.
Perlahan-lahan surat itu dibukanya, aroma dari surat itu tercium wangi bunga . Hatinya mendadak menjadi berdebar, apa sebenarnya yang ingin disampaikan Tom? Kenapa mesti lewat surat? Lalu lembaran pertama terbuka, untaian tulisan tangan terurai indah, seindah kata-kata yang terungkap.
”Maria,,
Maria...
Aku ingin kita menghitung bersama untaian hari-hari kebersamaan kita, adakah sebanyak bintang dilangit?
Aku ingin kita menghitung sebanyak apa gelak canda tawa yang telah kita lalui..
Aku ingin juga menghitung berapa banyak air mata yang telah terurai melintasi pipimu yang halus,,,”
Pada bait pertama Maria mulai meneteskan air mata, dia sudah tidak kuat lagi menahan haru.
”kepergianku tidak akan pernah memudarkan pesonamu yang selalu melekat dalam hatiku
Perpisahan tak akan mampu memupuskan rasa sayangku kepadamu
Namun ada satu yang membuatku merasa enggan untuk pergi menemuimu dan mengungkapkan semua ini padamu langsung
Hatiku selalu bertanya...
Benarkah kamu mencintaiku?
Benarkah kita hanya sebatas sahabat dan tak pernah lebih?
Simpanlah jawaban ini sampai suatu hari aku bertanya padamu langsung..
Maria,,
Maria..
Besok aku ingin kamu datang mengantarku pergi, supaya aku yakin, merasa aman dan merasa tenang bahwa kamu memang membutuhkanku...
Salam persahabatan..
Tom”
Pecahlah tangisan Maria, air matanya berderai sampai membasahi surat itu sehingga menimbulkan sebuah bercak-bercak dari tinta yang memudar. Dipeluknya surat itu pada dadanya, sedikit-sedikit nafasnya tidak teratur, aliran darahnya seakan berhenti mengalir, entah kenapa nafasnya begitu terasa sangat sesak, apa ini cinta? Kenapa aku baru menyadarinya ketika cinta

itu akan pergi?
Cinta jangan pergi
Aku rapuh tanpamu
Cinta datang dan tetaplah diam
Hatiku tak izinkan kamu pergi
Semalaman Maria tak bisa memejamkan mata, difikirannya hanya ada Tom. Dia sudah sangat bingung bagaimana caranya agar mengusir perasaan itu, sudah terlambatkah semua itu?

**
”mau kemana kamu Maria? Pagi-pagi begini sudah rapi?” tanya Ibu. Maria diam tak menjawab. Farhan sibuk membersihkan sepatu bututnya.
”mau kemana!” kali ini ibu sedikit mendesak. Maria menghela nafas panjang. Haruskah jujur?
”aku,,aku pergi mengantar Tom” jawab Maria agak terbata. Langsung saja muka ibu merah. Memang dari dulu keluarga Maria dan keluarga Tom dibilang tidak harmonis. Entah apa, setiap Maria bertanya ibu selalu marah.
‘ ’ kenapa kamu masih saja berhubungan dengan anak itu ?!’’ langkah Maria terhenti, ibu sudah mulai mempermasalahkan lagi keakraban antara dia dan Tom.
‘ ’kenapa ibu ? dari dulu ibu selalu melarang tanpa pernah memberikan penjelasan yang sebe” belum juga Maria menyelesaikan kalimatnya ibu langsung melempar sendok ke wajah Maria, kontan Maria kaget dan langsung terdiam, begitu juga dengan Farhan, dia juga terkejut kakaknya diperlakukan seperti itu.
‘ ’pergi sana, dasar anak tidak tahu diuntung, goblok ! ‘’ tanpa banyak basa-basi Maria langsung pergi dari rumah itu, baginya sudah cukup sakit selalu diperlakukan kasar oleh ibu.
Kenapa tuhan ? sebenarnya ada apa antara ibu dan keluarga Tom ?
Pertanyaan itu terus saja melingkar di otak Maria.
Di angkot, Maria menangis. Tangannya terus memegang goresan luka akibat lemparan sendok tadi, sama sekali dia tidak peduli dengan penumpang lain yang aneh melihat Maria menangis. Yang terpenting baginya sekarang adalah dia tidak terlambat untuk menemui Tom. Semoga..

**
Maria berlari kencang mengejar kereta Lodaya yang membawa Tom, sahabatnya menuju kota Jogja, awalnya memang Maria enggan melihat kepergian Tom tapi Maria mengerti Tom pasti sedih dirinya tidak datang, sebetulnya yang ditakutkan oleh Maria adalah hatinya, hatinya yang mulai rapuh..
“tunggu!” teriak Maria. Tom yang mematung dari tadi di mulut pintu kereta menunggu kedatangan Maria, langsung melihat tepat kearah Maria berlari, tak terasa sebuah senyum mengambang di bibir Tom “akhirnya kamu kamu datang juga..”
Perlahan-lahan kereta melaju kencang, sekencang Maria berlari mengejar Tom, tentu saja Tom tidak tinggal diam, dia mengulurkan tangan menyambut kedatangan Maria, matanya tidak lepas dari sosok gadis yang telah dia cintai selama 10 tahun lamanya, saat keduanya masih berumur 8 tahun.
“Maria cepat kesini, raih tanganku!” teriak Tom.
“maafkan aku Tom, aku terlambat tapi..”
“tak perlu minta maaf yang penting selama aku pergi jaga dirimu baik-baik” sela Tom yang semakin jauh dibawa kereta yang melaju kencang, langkah kaki Maria tak mampu lagi mengejar dan belum sempat juga membalas uluran tangan Tom, Tom sudah pergi jauh darinya dan kini dirinya sendiri.
Maria mematung menyaksikan segalanya hilang, segala yang dia miliki yakni sebuah kenangan. Sejenak Maria tetap menatap kereta yang membawa jiwanya pergi, sekarang dia mencoba untuk tegar dalam menjalani hidup, dia tak ingin ada lagi air mata yang jatuh lagi, sudah cukup baginya ujian demi ujian membuatnya kokoh.
Semoga tidak ada lagi air mata,,,
Namun Maria tak tahu bahwa Tom sebenarnya juga menangis menyaksikan sosok yang yang dicintainya perlahan-lahan menghilang.
Saat kembali kerumah tidak di dapati siapapun disana, baik ibu ataupun adiknya Farhan. Kemana mereka?
”ibu,,,Farhan...” tak ada yang menjawab. Hati Maria kembali gelisah. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi kekamarnya, dan terbaring di kasur kecilnya. Sejenak dia merebahkan diri untuk menenangkan hatinya bahwa semuanya akan berjalan baik-baik saja. Dia percaya itu. Tanpa terasa di tertidur pulas hingga sore menjelang. Dilihatnya jam yang menunjukan pukul 17.35.
”astagfirullah!!” teriaknya. Dia baru ingat akan ibu dan Farhan.
’’apa mereka sudah pulang?“
Bergegas Maria pergi keruang tamu, ternyata ibu ada disana tapi entah dengan Farhan, mungkin dia main pas pulang sekolah. Maria menatap sendu wajah ibunya yang terlihat sangat kelelahan, tapi entah, kelelahan yang dilihatnya bukan kelelahan yang biasa...
’’ibu,,dari mana? Maria ambilkan teh ya?“
’’tidak usah..” jawab ibu. Maria menghela nafas, dia tak habis fikir dengan perilaku ibunya yang terkadang aneh. Sebenarnya ada apa dengan ibu?

**
”dasar perempuan jalang, pergi kamu dari kehidupan kami!” hardik Yanti. Seorang istri dari juragan sayur yang kaya raya dikampung. Dibelakang perempuan itu mematung laki-laki yang tengah diam memandangi Tati yang tengah dicaci maki istrinya.
’ ’tolong, aku hanya ingin suami mu itu bertanggung jawab” Tati menangis mengemis kasih ditelapak kaki Yanti. Perutnya yang besar karena tengah mengandung 7 bulan.
’’jangan pernah berharap, aku tahu kamu cuman ingin kekayaan kami kan? Karena semuanya belum pasti anak yang dikandung itu adalah anak kang Asep!” dirasa perkataannya sudah melampui batas maka secepat mungkin Tati berhenti menangis lalu berdiri. Sepasang suami itu ditatapnya tajam, tapi tak ada satu patah katapun yang keluar dari mulut Tati. Lantas diri yang lemah dibawa Tati tanpa arah yang jelas...
”Tidak,,Tii,,Tidakkk” teriak Ibu Maria terbangun dari mimpi buruknya. Keringat membasahi tubuhnya, nafas yang yang terengah-engah seakan diburu hewan buas. Dilihat sekelilingnya yang sunyi tanpa suara dan gelap.
’’mimpi ini lagi..’’ keluhnya. Setiap kali peristiwa itu terulang dalam mimpinya maka untuk malam ini dia tak akan pernah bisa memejamkan matanya kembali.
”kenapa semuanya selalu menghantuiku..?” fikirnya. Lantas bu Tati keluar kamar, dilihatnya setiap sudut dengan seksama, semuanya sepi. Entah kenapa dia ingin melihat putrinya. Dibukanya pintu kamar Maria, diintipnya anak gadis itu. Maria terlelap tidur karena tadi siang dia kelelahan. Bu Tati menyaksikan tubuh anaknya itu yang tengah mekar dan wajah yang tengah terukir sangat indah, dia sangat menyadari mempunyai anak gadis yang sangat elok dan itu merupakan suatu kebanggaan. Kebanggaan?
Benarkah kebanggaan? Bukankah dulu dia sangat tidak menginginkan anak itu lahir?
Segera mungkin fikiran itu ditepisnya. Di kursi ruang dia duduk, mencoba mengingatkan akan masa lalunya yang perih maka ingatan itupun muncul kembali...
”ketika Maria lahir di rumah seorang parazi kampung yang jauh terpencil, aku berjuang melahirkan anak haramku sendirian tanpa ditemani siapapun termasuk orang tuaku. Rasanya sakit sekali mengalami hal itu, kenapa semuanya harus aku yang mengalami? Duh gusti dosa apa yang telah hamba perbuat?
Tadinya orok itu akan aku jual saja kepada orang yang memerlukan anak tapi ketika aku utarakan kepada mak kokom dia bilang bahwa kelak orok itu akan menyelematkan hidupku. Akhirnya tanpa sepengetahuan orang tua, aku minggat dari rumah dan pergi ke daerah ciwidey dan mengontrak rumah disana dengan orok kecilku. Hingga akhirnya ditempat itu aku bertemu dengan kang Jaja, kami saling mencintai, dan dia mau menikahiku tanpa memperdulikan masa laluku. Hanya saja kebahagiaan itu hanya sesaat, Kang jaja meninggal karena kecelakaan. Sayang sekali hidupku yang selalu sial..” belum juga tuntas mengingatnya tiba-tiba terbuyarkan oleh suara adzan shubuh yang menggema. Lalu Bu tati segera bangkit dan berjalan menuju kamar mandi, setelah itu didapati Maria didapur tengah menghangatkan nasi.
”ibu tumben sudah mandi” komentar Maria yang masih belum cuci muka sama sekali.
”emang kenapa? Ayo cepat giliran kamu mandi” jawabnya sambil berlalu begitu saja. Maria termenung sejenak dan untuk selanjutnya tak lagi menghiraukan perilaku ibunya.

**
”si Maria masih perawan kan?” tanya juragan batu bata dikampung sebelah yang dikenal mempunyai 3 istri. Bu Tati mengangguk.
”boleh donk” godanya. Kening bu Tati berkerut melihat siasat tersembunyi juragan gila kawin. Tak terduga Maria keluar dengan penampilan rapi dan bersih, langsung saja mata keranjang juragan itu menatap penuh nafsu, sedangkan Maria terdiam mendapati sepasang mata bernafsu tertuju padanya.
”masuk cepat Maria!” teriak Ibu, Maria langsung menyahut.
”lho ibu ini gimana, saya lihat dikit kok gak boleh!” juragan marah, pandangan bu Tati semakin dipertajam, tentu saja juragan semakin naik pitam.
”awas ya, kamu cari masalah sama aku, lihat saja nanti!” nafas bu Tati mulai lega ketika juragan gila kawin itu pergi. Ketika itu hati bu Tati gelisah, rasanya tidak baik membiarkan anak perawannya terus seperti itu, lebih baik dinikahkan saja apalagi Maria juga tak kunjung bekerja.
” heh, situ punya anak laki kaya gak? Kalau ada mau gak dikawinkan sama si Maria”
”emang kenapa? Kamu mau ngawinin si Maria? Tanya ja atuh langsung apa dia punya pacar atau nggak” jawab ceu Wati. Sejenak bu Tati terdiam.
”kamu benar juga, siapa tahu si Maria punya pacar, kan enak tinggal ngawinin” buru-buru Bu Tati pulang lagi menuju rumah.
Maria yang sedang nyetrika terkejut mendapati ibu nya yang terlihat senang.
”ada apa bu kok kayak senang gitu”
”heh maria kamu punya pacar gak?” tanya ibunya sambil senyam senyum. Maria bertambah bingung. ”eh ditanya malah diam”
”nggak punya bu”
”masya alloh, kamu sekolah ngapain aja atuh?” Maria tertunduk lalu kembali menyetrika.
”kamu sih, terus-terusan aja main sama si Tom jadinya gak ada mau sama kamu karena mereka berfikir kamu pacarnya”
”sudah diam!!” teriak Maria.

^ _ ^
Satu tahun kemudian.
Dinginya malam seolah menusuk hingga ke tulang iga, berbekal mantel tebal Maria pulang dari tempat kerjanya di sebuah restoran mewah di kota Lembang. Maria tidak seberuntung Tom atau anak lain yang bisa melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi, kehidupan ekonomi keluarga Maria terbilang susah, apalagi Maria anak sulung jadi sekarang Maria lah yang menjadi tulang punggung keluarga, selepas ayahnya meninggal 1 tahun yang lalu.
Suasana malam itu sangat sepi, kendaraan pun jarang melintas, biasanya Maria pulang bersama dengan karyawan lain tapi hari ini dirinyalah yang di minta untuk lembur menemani bosnya rapat untuk memikirkan inovasi baru mengenai promosi restorannya. Dinginya malam mengingatkan Maria akan sahabatnya, hatinya kembali sedih jika mengenang semuanya kembali, Maria berfikir jika saja Tom masih disini bersamanya mungkin dirinya akan merasa aman, selama inilah dia yang menjaga Maria tapi sekarang Maria sendirilah yang harus berjuang melindungi dirinya.
“Tom kamu sedang apa sekarang? Seandainya kamu ada disini..”
“tiit…” suara klakson membuyarkan lamunan Maria, di tengoknya mobil mewah itu, dan ternyata itu adalah bosnya, Pak Danu. Langkah Maria berhenti sejenak dan menunduk memberikan salam. Pak Danu membuka kaca mobilnya dan tersenyum pada Maria, tatapan matanya sangat tajam memperhatikan Maria, dari atas sampai bawah. Namun Maria tidak menyadari hal itu.
“naiklah, diluar dingin, biar saya antar kamu pulang” ajak Pak Danu yang telah berusia 46 itu. Maria menggeleng, menolak ajakan itu dengan halus.
“kenapa? Aku kan bos mu, kalau ada apa-apa akulah yang bertanggung jawab, ayo cepat naik” desaknya lagi. Maria semakin serba salah. Akhirnya karena desakan yang terus menerus akhirnya Maria mau naik pula ke mobil Pak Danu.
Suasana hening, sangat canggung. Itulah yang tidak membuat nyaman Maria, tapi berbeda dengan Pak Danu, jiwa kelaki-lakiannya merayakan kejadian ini, bagi Pak Danu Maria adalah gadis yang cantik tapi lugu.
“berapa umurmu sekarang?” Tanya Pak Danu.
“ Sembilan belas, pak” jawab Maria singkat.
“masih muda sekali, sudah punya pacar?” Tanya Pak Danu sedikit menjurus. Perasaan Maria semakin terusik.
“saya tidak punya pacar, pak”
“masa sih, gadis secantik kamu belum punya pacar” goda Pak Danu. Maria terdiam, malas menanggapi.
“Ah ya, saya lupa untuk membawa kunci rumah di kantor, jadi kita kembali ke kantor, ga apa-apa kan?”, Maria tersentak mendengar ajakan itu, tapi apalah daya, prasangkanya tak beralasan.
Mobil melaju kencang kembali menuju arah kantor, malam semakin larut dan semakin dingin dan inilah pertama kalinya maria serasa menjadi patung yang membeku, tak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan dirinya sendiri, hatinya yakin bahwa dirinya tengah berada situasi yang buruk.
Sesampainya..
“ayo turunlah Maria temani aku mengambil kunci di tempat meeting” Maria mengangguk. Dalam ruangan yang remang-remang maria berjalan dengan hati-hati, jantungnya berdetak kencang melebihi kencangnya gong yang bertabuh. Di depan ruang meeting, Maria mulai membuka pintu dan masuk lalu menyalakan lampu, tapi aneh sekali tidak ada kunci di sana, semuanya kosong dan rapi, Maria merasa sangat heran, lalu akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke bawah tapi baru saja berbalik arah seseorang langsung menyergapnya, Maria berteriak kaget. Setelah terlihat jelas, orang itu adalah Pak Danu!.
Tangan Pak Danu menyergap tubuh Maria dan menyeret kasar menuju meja besar, sekuat tenaga Maria memberontak tapi apalah daya tenaga yang dimilikinya tak sebanding dengan kekuatan Pak Danu. Maria berteriak kencang meminta pertolongan.
“berteriaklah, tak akan ada yang mendengarmu!” ucap Pak Danu.
Detik demi detik berlalu, Maria menyadari betul, perlahan-lahan bajunya terkoyak, seperti kehormatannya...
3 jam berlalu, Maria terisak di samping Pak Danu yang mendengkur nyenyak, lantas dengan sangat hati-hati Maria bangkit dan memungut kembali pakaiannya, tangisannya semakin kencang saat mendapati darah yang menetes dari pahanya yang berasal dari keperawananya yang koyak, setelah itu Maria keluar dari gedung itu, isak tangisnya tetap tidak berhenti malah semakin deras, begitu dia sangat menyesali nasibnya, dirinya yang malang. Dinginnya malam tidak menyulutkan langkah Maria untuk tetap berjalan.

^ _ ^
Di lain tempat lain tatkala Tom ketiduran di meja belajar saat mengerjakan tugas langsung terkaget setengah mati ketika foto Maria terjatuh keras dan pecah, kacanya berserakan di lantai. Sesaat Tom hanya terpaku, masih belum sadar dengan apa yang terjadi, barulah beberapa detik kemudian Tom terperanjat menyadari kalau foto kekasihnya telah menjadi serpihan, langsung dia memungut bingkainya dan memandangi tajam gambar Maria yang tengah tersenyum manis dengan rambut panjangnya yang terurai, saat itu mulai merasakan firasat yang tidak enak.
“Maria..?”

^ _ ^
“Assalamualikum, bu aku pulang” salam Maria sambil membuka pintu
“kenapa baru pulang?” Tanya ibunya yang lagi mengepel lantai.
“aku lembur bu” jawab singkat Maria, sangat datar, hanya saja ibunya tidak peka dengan apa yang terjadi pada anak gadis satu-satunya itu. Entah sadar atau tidak, langkahnya tiba-tiba saja telah ada di depan kamar mandi, sejenak dia termangu di depan pintu lantas membukanya perlahan-lahan lalu di tutupnya.
Air dingin mengguyur tubuh Maria yang lemah, setiap tetesnya tak mampu menyejukan hatinya yang telah pecah menjadi puing-puing, dengan gerakan yang lemah tanganya mengusap setiap bagian dari tubuhnya hingga sampai pada posisi rahim tiba-tiba saja fikirannya melayang pada kejadian malam kemarin, ya.. sekarang dirinya tidak lagi suci. Sejujurnya Maria ingin sekali berteriak dan ingin merobek-robek tubuhnya yang telah kotor, seakan sekarang sudah pasti bahwa dirinya betul-betul membenci tubuhnya.


^ _ ^
Soal ujian yang di depan mata Tom seakan buram, hitam seperti kertas yang telah tertumpah tinta hitam, hatinya bertanya-tanya mengapa semuanya jadi serba aneh dan mengapa dirinya sekarang menjadi ingat terus pada Maria, semua pertanyaan itu begitu menggunung pada benak Tom. Hingga jawaban yang di tulis Tom ngaler-ngidul.


^ _ ^
Malam yang kedua sejak peristiwa itu, ranjang yang ditiduri Maria seakan sebuah paku yang menusuk-nusuk tubuhnya, hingga pada malam-malam berikutnya pun Maria tak dapat memejamkan matanya, yang diingat terus dalam fikirannya hanyalah kehormatannya, jiwa Maria mengamuk, merasakan rasa bersalah yang amat dalam karena dirinya telah gagal menjaga dirinya, ya..menjaga dirinya sendiri, dan bagaimanakah sekarang untuk dia merngembalikan itu?
Selama seminggunya maria tak keluar kamar, dia hanya mengunci dirinya dari siapapun, ibu dan adiknya telah beberapa kali membujuk dan memaksanya keluar tapi tetap tak ada jawaban dari Maria, tentu saja mereka tidak tahu keadaan Maria yang sebenarnya, didalam kamarnya Maria hanya menatap cermin dengan tatapan yang kosong, seperti orang gila. Hingga suatu pagi Maria memberanikan diri untuk keluar kamar, menghadapi dunianya kembali.
“bu, aku mau keluar kerja” ungkap Maria.
“kenapa ? terus kalau kamu keluar kerja bagaimana bisa nyari duit? Makan aja susah!” jawab ibunya sedikit ketus, kesal karena Maria sudah seminggu lebih tidak memberinya pemasukan.
“aku punya cukup tabungan untuk membuka usaha, itu mungkin lebih baik” jawab Maria lagi, dengan nada yang sangat datar.
“terserah, yang penting kita bisa makan dan adikmu bisa tamat SMA”. Setelah berdiskusi dengan ibunya, Maria langsung pergi menuju tempat kerjanya, untuk menyerahkan surat pengunduran diri. Dalam perjalanan, Maria terus saja sekuat tenaga menahan tangisnya, dia tidak ingin siapapun tahu apa yang terjadi pada dirinya. Sesampainya di sana, sejenak Maria memandangi gedung restorant dan hotel yang selama ini memberikannya kehidupan sekaligus menghancurkannya dalam sekejap.
“Ran, apa pak Danu ada di ruanganya?” Tanya Maria pada teman kerjanya, sekertaris Pak Danu – Rini-.
“katanya sih hari ini dia akan terlambat datang, emang ada apa Maria?”
“tidak, tolong serahkan surat ini padanya”
“ok!”, Maria pulang dengan hati yang lebih berdarah-darah, tadinya dia ingin sekali menampar bajingan itu, tapi ternyata kesempatan itu tak ada. Baru saja Maria berjalan beberapa meter dari ruang Pak Danu, dirinya langsung berpapasan dengan Pak Danu dan klayennya, namun dengan pertemuan seperti itu Pak Danu dingin-dingin saja melewati Maria, begitu pula dengan Maria yang entah kenapa menjadi beku menyaksikan ekspresi penjahat itu. Baru setelah Pak Danu jauh di belakang, Maria menyandarkan tubuhnya yang rapuh ke dinding, air matanya keluar sangat deras.
“pengecut kau, lihat saja nanti pembalasan tuhan”
Maria pergi tanpa tujuan yang jelas, emosinya terlalu kacau untuk diajak berfikir, langkahnya sangat limpung, jika saja ada angin kencang yang bertiup niscaya tubuhnya akan langsung rubuh.

^ _ ^
Malam hari Maria baru pulang, tapi ternyata ibu dan adiknya telah tidur, barulah dia sadar bahwa dia pulang terlalu malam, melihat rumahnya yang berantakan sesaat Maria menarik nafas panjang, beban di dadanya semakin berat, tangisannya kembali pecah, di ruang tengah yang remang-remang Maria menangis lalu tak lama kemudian Maria bangkit dan melangkah menuju kamarnya, di bukanya pintu dengan sangat hati - hati agar tidak membangunkan ibu dan adiknya, di kamar itulah Maria merebahkan diri di ranjangnya yang sempit.
Paginya Maria bangun, di ambilnya ATM yang menyimpan tabungannya selama dia bekerja, Maria sudah benar - benar memutuskan untuk pergi dari desanya ini dan pergi ke tempat yang jauh yang bisa melupakan semuanya yang terjadi selama ini padanya. Ketika Maria keluar kamar didapati ibunya sedang menonton televisi, seakan langkahnya tercekat tali, namun dia mencoba untuk bersikap biasa – biasa saja.
“bu ini modal untuk kita buka usaha” ucap Maria. Ibunya mengambil ATM itu, tanpa memperdulikan raut wajah Maria yang pucat.
“bu..”
“apa?” Tanya ibunya dengan tetap menghitung uang.
“aku mau pergi jauh dari sini” jawab Maria.
“pergi kemana?”
“ke Aceh, biarlah usaha disini ibu yang mengelola” ungkap Maria dengan kata yang sangat hati-hati.
“baiklah, terserah kamu” mendengar jawaban ibunya yang begitu acuh, tak terasa sebutir air mata menetes dan jatuh pada pipi Maria yang halus. Ibunya melihat itu.
“ kenapa kamu menangis?” Maria menggeleng, tak berani mengatakan apapun bahkan untuk mengungkapkan luka hatinya. Spontan saja Maria langsung memeluk ibunya, karena heran dengan tingkah Maria yang aneh, ibunya mencubit lengan Maria lalu berkata “aduh.. udah dech, jangan aneh – aneh!”, mendengar itu air mata Maria semakin berderai, nafasnya tercekat pada kerongkongan, sangat pedih.
Malam yang sangat sunyi, hanya terdengar jam yang berdetak dan jangkrik yang bernyanyi riang, berselimutkan ketegaran yang kuat Maria tetap menyulam malam dengan tangisan. Foto Tom di sematkan ke dadanya , di peluk dan basah oleh air mata yang bening, ungkapan hati yang tak mampu di tulis dan tak mampu di ucapkan.
“Tom, kembalilah, aku sangat membutuhkanmu”

^ _ ^
Menjelang kepergiannya, Maria dibantu adiknya untuk berkemas – kemas, membawa barang yang sekiranya diperlukan di sana, lalu Maria menyimpan sebuah surat di atas meja makan, surat khusus untuk ibu dan adiknya. Di depan rumah, ibunya menyapu halaman yang tak seberapa luas dengan pagar dari bambu yang sangat sederhana, ketika sampai di depan pintu, sejenak Maria menarik nafas, memastikan bahwa inilah awal dari kehidupan yang sebenarnya.
“ibu..” panggil Maria, ibunya langsung berhenti menyapu dan menengok ke arah Maria.
“aku pergi dulu bu, maaf jika Maria selalu menyusahkan ibu, Maria belum bisa memberikan yang terbaik bagi ibu dan Farhan” pamitnya. Air mata ibunya jatuh, terharu dan merasakan berat melepaskan satu-satunya tulang punggung keluarganya itu.
“Far, jaga ibu, sekarang kamulah yang jadi pengganti kakak untuk mengurus masalah keuangan keluarga, kerjalah yang rajin dan jangan lupa bantu ibu” pesan Maria pada adiknya. Farhan terisak. Namun dengan keputusannya ini bagi Maria merupakan awal bagus untuk mengasingkan diri, mencari dunia baru yang masih asing bagi hidupnya yang kelam. Maria pergi dengan sebuah senyuman.
“bu, jika Tom kembali katakan saja bahwa aku telah pergi kerja ke Malaysia, tolong katakan hal itu ya bu..” pinta Maria di awal perjalananya. Ibunya mengangguk, menyusut air matanya yang menetes. Saat meninggalkan tanah kelahirannya itu, hatinya menjadi lebih dari sebuah puing-puing yang tak tersisa lagi untuk kembali dibangun, mengapa semua ini harus terjadi padanya? Saat melangkah, Maria tak ingin menengok ke belakang, Maria sangat takut jika itu akan membuatnya semakin rapuh.

Ketika aku menaruh ingatan pada masa lalu
Maka satu - satunya teman abadiku adalah air mata
Dan ketika aku menaruh ambisiku pada masa depan
Maka satu - satunya teman abadi adalah kesendirian

Aku tidak mampu memaksa ini semua terjadi
Karena semuanya pasti akan terjadi
Meskipun hati - hati kita berteriak kencang
Menuntut adanya sebuah kebahagian
Sadarilah bahwa beginilah jika takdir yang berbicara
Karena kita adalah sepenuhnya milik tuhan dan akan kembali padaNya

2 jam setelah Maria pergi, ketika ibu dan farhan hendak sarapan, didapatinya sebuah surat di atas kudung saji, mereka berdua kaget, segera saja Farhan menyambar surat itu dan membukanya dengan sangat tergesa – gesa
”Bacakan dengan keras” pinta ibunya dingin. Mulailah Farhan membaca isi surat dari Maria, suasana menjadi sangat hening..

Assalamualaikum..
Ba’da sholawat serta salam..
Ibu maaf jika kepergian ananda ini sangat mendadak, tapi percayalah pada anakmu yang tak berguna ini bahwa kalian akan tetap pada doa – doa ananda, ananda sangat mengerti bahwa ananda adalah anak yang tak berguna, ananda belum bisa membalas jasa ibunda yang sangat besar, doakanlah ananda semoga suatu hari dapat kembali menjadi anak yang berhasil. Untuk Farhan, adikku sayang kakak minta maaf karena kakak belum sepenuhnya memenuhi kewajiban kakak untuk menyekolahkan kamu sampai ke perguruan tinggi, tapi kakak akan terus berdoa agar kamu mendapat kebahagian dunia akhirat, jaga baik ibu dan dirimu sendiri.

Salam sayang
Maria.”

Keduanya menangis, rasa kehilangan membucah memenuhi dada mereka.
2 tahun berlalu, Maria tak pernah lagi memberikan kabar kepada keluarganya, pernah suatu hari Tom datang kerumahnya namun semuanya telah terlambat Maria telah pergi dan tak seorangpun tahu dimana Maria sekarang,,,

^ _ ^

Kini Tom terus saja menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menatap foto Maria, pemuda itu bingung mencari gadis yang dicintainya. Dalam kesendiriannya Tom kembali mengingat kenangannya dengan Maria, gadis itu sangat lucu dan mempunyai semangat yang besar, tak mudah melupakan gadis seperti itu.
”Tom, jika aku dewasa nanti maka aku ingin menjadi perempuan yang tegar, tegar dalam menghadapi hidup” celotehnya Maria.
”hanya itu?” tanya Tom heran.
”ya, karena jika kita tegar, apapun yang terjadi baik atau buruk maka kita akan tetap mampu bertahan, baik itu dalam keadaan miskin atau kaya, baik itu dalam keadaan bahagia atau merana dan lain sebagainya, wehe,,he,,he...” gadis itu terkekeh sendirian.
Itulah Maria, dan sekarang dia kehilangan belahan hatinya..


Gadisku..
Kembalilah padaku
Aku bukanlah lelaki jika tanpa dirimu
Lalu Tom menutup Diarynya...

m@rY@n@H_StroNg.