Rabu, 13 Maret 2013

Belia “beli”-an

“pasti kamu sedih..” ucap Sali sangat datar. Dia berusaha tak menampakan perasaannya.
“Udah jelaslah sal, kemarin malam aku sama dia berantem.. emang sih masalahnya sepele, tapi gak tau kenapa dia suka minta putus-putus gitu, kadang dia nuduh aku yang nggak-nggak, padahal harus gimana lagi supaya dia percaya sama aku..” jelas Arya panjang lebar.
Suasana mendadak sepi. Sali terdiam.
“Lho, kamu malah diam?” Tanya Arya. Sali menggeleng kepalanya.
“udah ah ah, aku mau pulang duluan” Arya pergi dengan muka yang kacau. Dia meninggalkan Sali sendirian dibawah rindang pohon Flamboyan di halaman sekolah.
Ada butiran air mata mengiringi kepergian Arya. Seandainya dia tahu yang sebenarnya…
Satu persatu daun kering berguguran bersama hembusan angin, matahari sudah mulai terbenam namun Sali masih tak mau beranjak dari tempatnya. Dia masih saja menangis, sedih akan sikap Arya.


**

“Cit, kamu tau gak kalo udah 3 hari ini Arya sakit?” Tanya Sali. Citra menatapnya lurus.
“terus? Apa salah gua kalo dia sakit?!” jawab Citra sinis. Sali membalas tatapan itu.
“kalo iya, gimana?” Citra diam.
“bukannya kalian pacaran? Tapi kenapa lo gak pernah perhatian sama Arya?!” kata Sali nadanya sedikit meninggi. Dia kesal dengan cewek itu.
2 mata saling memandang, keduanya tetap tak mau mengalah. Beberapa menit kemudian.
“kamu ikut aku sekarang!” Sali segera menyambar tangan Citra.
“ih… apa-apan sih! Norak banget sih lo! Lepasin tangan gua!” namun Sali tetap membawa citra kesuatu tempat. Citra tetap berontak.
“kamu tunggu disini” pinta Sali.
Dengan kesal Citra menunggu diluar sebuah Wartel dekat sekolah. Tak lama kemudian
“Cit, sini masuk”
Citra menghampiri dengan sedikit kebingungan.
“Nih, Arya mau ngomong” Sali menyerahkan gagang telepon itu pada Citra.
Entah apa yang mereka bicarakan, yang jelas hati Sali sangat sakit. Namun dia lakukan itu untuk Arya, cowok yang disukainya. Karena tak tahan akan menangis Sali segera pergi menuju kelas meninggalkan Citra dan Arya.

**

“Sal ada surat!” panggil neneknya Sali. Pasti dari kedua orang tuanya. Yah, selama SMA ini Sali memang terpisah dari ibu dan bapaknya untuk sekolah. Sali sebenarnya berasal dari sebuah desa terpencil di Garut.
Sudah setumpuk surat dari ibu bapaknya yang tersimpan rapi dilemari usang Sali. Kali ini entah apa isinya. Perlahan-lahan ditengah cahaya lampu 5 watt yang temaram Sali membuka surat itu.
“Sali, apa kabarmu nak? Ibu dan bapak sudah kangen, kelima adikmu juga sangat ingin bertemu denganmu.
Anakku Sali, kamu adalah anak kami yang palng besar. Semula kami ingin menyekolahkan kamu hingga perguruan tinggi tapi kami adalah orang tua yang miskin, begitu banyak hutang dimana-mana.
Maafkan kami anakku, jika kami terpaksa memintamu untuk berhenti sekolah. Kami butuh orang yang ikut membantu untuk menambah penghasilan. Sangat berat hati kami minta kamu pulang ke garut nak!...”
Lagi-lagi air mata Sali jatuh, dia tak kuasa untuk membaca lagi surat itu. Jika dia putus sekolah maka cita-citanya menjadi guru akan hilang, dan itu juga berarti dia akan berpisah dengan Arya. Sahabat sekaligus cowok yang disukainya.
“kenapa hidup tak adil begini?” Tanya hati Sali. Surat itu basah oleh butiran air mata Sali.
Dia tak buru-buru untuk bercerita pada sang nenek.

**

“Arya, aku mau ngomong sesuatu” ajak Sali. Arya menoleh. Dia tersenyum pada Sali dengan senyuman yang manis. Sali sedikit tertunduk.
“sini aja, tapi jangan lama-lama yah.., aku udah ada janji sama Citra” Sali mengangguk.
“a.. a…aku harus pulang nih ke Garut” kata Sali.
“oh pulang kampung? Ya udah hati-hati yah Sal, pulangnya bawa Cokodot yah hehehe..” Arya terkekeh.
“bukan, begini maksudku itu…”
“Arya!” panggil seseorang memotong ucapan Sali. Yup, dia Citra.
“aduh sory yah Sal, ntar kita sambung lagi, kalo kelamaan si dia bisa marah..” kilah Arya, segera langkahnya melaju meninggalkan Sali yang diam berdiri mematung. Sosok Arya yang berlari dia simpan kuat di ingatannya.
“selamat tinggal ya…, semoga kamu bahagia selamanya” kali ini Sali tak menangis, meski dadanya sakit dan terasa pengap.
Matanya masih mengamati Arya yang tengah mencubit mesra pipi Citra lalu memegang tangannya. Menuntun ke tempat parkir motor.
“sudahlah sal, kamu gak boleh sedih terus..” bisik hatinya.
Sesudah Arya dan Citra pergi diapun segera berpamitan pada guru-guru disekolah, terutama guru Matematika kesayanganya, Bu Dika.
“sayang… sebenarnya ibu gak rela kamu putus sekolah” air mata Bu Dika tak mau berhenti. Ada keharuan menyeruak diruangan guru itu.
“tetap optimis ya anakku..” lanjut kata Bu Dika. Sali menangis sejadinya dipelukan Bu Dika.
Hari itu Sali pergi naik angkot, jika biasanya dia jalan kaki, itu karena hari ini dia ingin segera pergi meninggalkan sekolahnya yang begitu berbekas dihatinya.

**

“sal, kamu harus tabah ya! Kita beda sama orang-orang kaya sana. Bisa makan enak, bisa jajan dan sekolah. Nah kalo kita orang miskin begini. Kalo sekolah ya mana mungkin bisa buat makan” ucap neneknya berusaha menghibur.
Dibawah bantal yang sudah lapuk dan lepet air mata Sali berjatuhan bak hujan deras, dia menangis sesegukan, dadanya terasa pengap. Dia ingin sepert yang lainnya, melanjutkan sekolah.
“tapi nek, apa orang miskin seperti kita dilarang punya mimpi?!” Tanya Sali.
‘kamu punya mimpi apa sih sal? Yang penting buat kita bisa makan”
“itu bohong, setiap manusia berhak buat punya impian nek…gimana bisa maju hidup kita kalo Cuma berkutat sama makan!” balas Sali. Sang nenek tak menjawab.

**

Di bis yang pengap dan panas juga berdesak-desakan Sali berhimpitan dengan sepasang anak muda-mudi yang tengah bermesraan. Dia kesal sekali pada mereka, mengingatkan saja pada Arya dan Citra.
“ah apa kabar dengan mereka? Bagaimana Arya sekarang? Apa dia sedih dengan kepergiaanya? Ah, tentunya tak mungkin, jika Citra yang pergi baru dia sedih” fikirnya.
Perjalanan yang cukup melelahkan mengantarkannya pada desa tempat kecilnya itu, sebuah desa yang terbentang pesawahan yang luas, sejuk, disisi jalan berjajar pohon pisang. Matahari sore menyorot bayangan tubuhnya yang kecil semampai. Kulitnya yang bersih seakan emas yang berkilauan. Tinggal beberapa meter lagi dia sampai dirumah.
Namun yang disaksikannya adalah rumahnya yang telah disegel. Kosong dan telah usang, banyak debu serta tulisan “DISITA’.
“kemana bapak dan ibu?” Tanya nya bingung. Lalu seorang tetangga memanggilnya.
“duh, neng Sali.. rumah itu udah di ambil oleh juragan koswara. Keluarga neng udah pindah ke kontrakan bu Yati” tanpa pikir panjang lagi Sali segera berlari menuju kontrakan.

**

“Cit, kamu tega banget yah! Kita belum putus juga kenapa kamu udah selingkuh sama Kak Rio?!” teriak Arya sangat marah.
“lo mestinya nyadar, gue mau pacaran sama lo karena kasian aja!”
Bruk!! Dunia serasa runtuh bagi Arya. Tiba-tiba dia mengingat Sali.

**

“sayang… sudilah kamu terima tawaran ibu dan bapakmu ini! Ibu mohon!” desak ibu Sali.
“tapi… ni gak adil bu. Kemarin dalam surat ibu bilang buat nyuruh bantu kerja, tap kok sekarang malah maksa-maksa Sali buat mau nikah!” elak Sali.
“tapi kami terdesak, coba kalau kami terus terang pasti kamu gak mau pulang..” jawab ibunya.
“kami mohon Sali, hutang kita udah terlalu banyak…”
Sali segera beranjak pergi keluar dari kontrakan itu. Ditengah hujan deras.
“Sali…! Sali…! Mau kemana kamu.. kembali nak!” teriakan itu tak digubris.
Langkah kaki Sali melesat menerjang hujan deras dan menembus jalan yang buruk diantara kebun singkong. Entah akan kemana dia, yang pasti hatinya sangat sakit.
Saat lelah, kakinya terseok batu dan terjatuh. Air matanya tak bisa lagi dibedakan dengan air hujan. Tubuhnya basah dan kedinginan, namun dia tak peduli itu, dia hanya ingin keadaannya berubah tak seperti ini.

**

“perempuan itu yang penting dalam hidupnya yah nikah sama laki-laki baik dan kaya. Pasti bahagia”
“buat apa sekolah tinggi-tinggi, toh ntar juga ngulek sambel lagi”
“kubur mimpi mu nak, gak usah pengen nikah sama yang kita cintai, perempuan lebih baik dicintai biar nanti terjamin hidupnya.”
Puluhan kata-kata masuk ditelinganya.
“Untuk seperti itukah hidup perempuan diciptakan?
Begitu rendahkah perempuan untuk sekedar dihargai dan didengar hatinya?
Tabukah perempuan mempunyai impian untuk maju?
Haramkah tangan kami menyentuh kertas dan pena?
Benarkan kami, para perempuan diciptakan hanya untuk melayani dan melahirkan?
Tak pantaskah kami untuk meraih cinta-cinta yang kami anggap patut untuk kami dapatkan juga?”

Hari itu Sali bersanding dengan anak juragan Koswara. Sehingga lunaslah hutang keluarganya. Dalam lubuk hati Sali, dia seperti gadis belian, yang punya “harga” untuk dpasarkan, dibeli, lunas dan dimiliki. Padahal diapun punya impian dan cinta yang tak mungkin bisa ada “harga’’ untuk membelinya.
Namun dia berjanji kelak, anak perempuannya tak akan mengalami kepedihan seperti ini. Sepert dirinya dan perempuan-perempuan lain didesanya. Anak perempuannya harus sekolah tinggi dan punya cita-cita, juga berhak untuk mendapatkan cinta.

**

Arya tertegun saat melihat Sali yang menyapu halaman rumah yang luas, dia tertegun melhat perut Sali yang besar. Itukah Sali sekarang?
Arya menyesal…
Sangat menyesal …

By: maryanah_strong.
Rancaekek, 13 Maret 2013.
Pukul 17;12.

“Dibalik kodrat kita, jangan menyerah jika kita punya mimpi, punya potensi dan juga punya cinta, karena… Setiap perempuan berhak bahagia”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar