Jumat, 01 Maret 2013

Dari Seribu Ibu

Perempuan itu masih saja enggan melihat wajah sang bayi, badannya tetap membelakangi tanpa mau peduli tangisan dan rengekan buah hatinya. Sudah seminggu yang lalu dia melahirkan, semua orang tak mengerti dengan sikap perempuan itu, padahal sebelumnya dia begitu menginginkan anak.
Sang suami, kadang-kadang ibu mertuanya bergantian membuat susu, mengganti popok dan memandikan sang bayi. Namun sekarang mereka berdua kewalahan karena bayi itu mengalami demam tinggi. Yang dia butuhkan adalah dekapan dan perhatian sang ibu, namun lagi-lagi perempuan itu akan marah jika dipaksa untuk sekedar memeluknya.
“jauhkan dia dariku!”
“aku benci dia!”
Perempuan itu pun tak mengerti kenapa dirinya menjadi begitu enggan dengan kehadiran buah hatinya, tapi yang pasti dia masih merasa bahwa perjalanannya menjadi ibu begitu berat dan menyakitkan.
“ada apa dengan istri saya dok?”
“dia terkena baby blues syndrome..”
Suaminya langsung tertegun menatap nanar kedua perempuan yang amat dicintainya, istri dan anak perempuannya.


**
Dirumah kosong jauh dari pemukiman warga perempuan belia itu sembunyi. Darah masih mengalir dikakinya, sedangkan tangisan bayi semakin membuatnya panik. Dia harus segera menemukan sesuatu, entah itu kardus, kantong kresek atau tas bekas.
Nafasnya terengah-engah, lagi-lagi dia terjatuh karena kelelahan. Gadis belia itu baru saja melahirkan anak hasil hubungannya dengan sang pacar. Padahal 2 minggu lagi dia harus mengikuti Ujian Nasional.
Tak ada yang bisa dipakai untuk menyembunyikan bayi itu, akhirnya sang bayi merah pun dibuangnya langsung ke sungai yang deras. Matanya kembali basah oleh air mata saat melihat tubuh mungil itu tergulung arus hingga jauh entah kemana…
Ingatannya merekam kuat saat tangan mungil sang bayi menggenggam erat rambutnya, begitupun mata sang bayi yang menatap wajahnya begitu dalam.
“maafkan ibu sayang….” Jerit nuraninya.



**
Kaos tangan mungil itu masih rapi tersimpan dilaci lemarinya, setiap melihat benda itu jantungnya berdetak keras. Perempuan itu merasa sangat berdosa dan hina…
Benda itu saksi satu-satunya yang tertinggal akan peristiwa rumit 6 tahun lalu, saat dia menjual bayi itu kepada orang lain karena tak mampu membayar persalinan.
Jika masih ada mungkin anaknya sudah kelas 1 SD dan sudah berada bersama keluarga kaya. Padahal perempuan itu tidak tahu kalau sang anak telah tiada, gijalnya dijual ke singapura dan terjerat perdagangan organ.
“sayang… ibu rindu..” air matanya menetes lagi.




**
Air mata tak berhenti mengalir disudut mata buah hatinya, sudah 8 hari anak bungsunya itu koma, inveksi di otak dan pendarahan di alat vital menjadi penderitaannya. Entah karena apa penyebabnya, namun yang pasti pihak rumah sakit dan kepolisian tengah serius membongkar sesuatu dibalik sakit anaknya itu. Perempuan itu tak mengerti yang terjadi, maklum dia hanya seorang pemulung yang tak pernah sekolah.
“anak ibu korban perkosaan…”
Ibunya tetap termangu, bingung.
“sama siapa?” Tanyanya datar.
“kami masih menyelidiki, ibu dan bapak bisa ikut kami ke kantor polisi untuk diminta keterangan?”
Sebenarnya ada apa? Hati perempuan itu masih bertanya-tanya. Sampai pada kemudian anaknya tak mampu lagi bertahan pada sakitnya kali ini, dia pergi. Anak bungsunya yang masih sangat belia.
Kebingungan sang ibu pun terjawab, bahwa suaminyalah penyebab kematian itu. Seseorang yang tak pernah dia sangka tega berbuat keji melakukan perkosaan pada anaknya sendiri. Kurang apa lagi dirinya sebagai istri?
Kini perempuan itu mengerti, air mata sang anak saat terbaring sakit adalah bahasa tubuh yang melukiskan betapa batinnya terluka.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar